Minggu, 03 November 2013

SEJARAH PEMIKIRAN MODERN : PEMIKIRAN RENE DESCARTES : Dasar Pemikiran Modern

Text Box: HANDOUT KE-3


PEMIKIRAN RENE DESCARTES : Dasar Pemikiran Modern

A.    BIOGRAFI, KARYA TULIS, DAN GAGASAN RENE DESCARTES
Rene Descartes, penggagas metode keraguan sebagai pembuka jalan diketemukannya metode ilmiah lahir di Tours pada 31 Maret 1596. Desa tempat kelahirannya itu sekarang bernama la-Haye-Descartes. Ayah dan kakaknya adalah pegawai magistrates di High Court of Brittany dekat Rennes. Rene Descarter menjadi anak piatu sejak Ibunya meninggal setahun setelah melahirkan dirinya. Ayahnya kawin lagi. Descartes dibesarkan oleh neneknya. Sejak itu ia tidak pernah melihat ayahnya lagi.
Pada  tahun 1604 Descartes masuk ke Jesuit College di la Fleche, Anjou. Iklim akademik di kolese ini  lebih terbuka khususnya dukungan terhadap pemikiran Galileo yang pada waktu masih merupakan kontroversi di kalangan Gereja. Di kolese ini pula Descartes memperoleh pelajaran berbaga bahasa yaitu Latin, Yunani, dan Perancis serta matapelajaran seperti Fisika, Matematika, Astronomi, bahkan ia mendapat pengetahuan tentang logika Aristoteles, etika Nichomacus, dan ajaran metafisika dari filsafat Thomas Aquinas. Selama di sekolah ini pula ia ikut merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter pada  tahun 1611. Pada tahun 1614 Descartes meninggalkan la Fleche menuju Poiters. Di tempat barunya ini Descartes memperoleh Baccalaureat dan Lisensi Hukum pada November 1616.
Pada tahun 1618 Descartes masuk ke dinas angkatan darat yang dipimpin Maurice dari Nassau. Sepanjang karier di dinas militer tersebut ia tidak pernah bertempur. Saat dalam perjalanan ke Jerman bersama para tentara angkatan darat itu, pada 10 November 1619 Descartes mengalami serangkaian mimpi yang ia artikan sebagai tanda-tanda bahwa dirinya akan menemukan suatu ilmu yang universal.
Pengaruh penting bagi hidup Descartes adalah sahabatnya yang bernama Isaac Beeckman. Beeckman adalah seoang dokter yang usianya 8 tahun lebih tua daripada Descartes. Kurun waktu 1618-1619 bersama sahabatnya itu Descartes lebih banyak mengisi waktunya untuk berfilsafat. Beeckman mendorong Descartes dengan memberikan pertanyaan-pertanyaan keilmuan. Sepucuk surat Descartes yang ditujukan kepada Beekman dalam tahun 1619 mengatakan
“Terus terang”, demikian tulis Descartes kepada Beeckman. “Sebenarnya Andalah yang membebaskan saya dari kehidupan luntang-lantung dan mengingatkan saya akan hal-hal yang pernah saya pelajari dan hampir saya lupakan. Ketika pikiran saya melantur dari masalah-masalah yang serius, Andalah yang mengembalikannya ke jalur yang benar.[1]

Dengan “masalah serius” tampaknya Descartes mengartikannya sebagai sederetan pertanyaan muskil dalam matematika murni dan terapan. Dalam surat yang lain Descartes memberitahukan bahwa ia telah menemukan dalam enam hari pemecahan empat problem matematika yang sudah dikenal lama. Ia juga berterus terang kepada Beeckman bahwa ia bermaksud mempersembahkan kepada khalayak ramai suatu sains yang sama sekali baru untuk memecahkan setiap problem apapun dalam ilmu hitung dan ilmu ukur secara seragam. Berdasarkan isi surat tersebut kiranya dapat disimpulkan bahwa waktu inilah kegairahan Descartes akan masalah-masalah ilmiah benar-benar mulai merasuk dalam jiwanya.
Pada tahun 1620-an Descartes berada di Paris, dimana dia menjadikan dirinya terkenal saat bertentangan dengan Chandoux. Chandoux mengaku bahwa ilmu hanya bisa didasarkan pada kemungkinan. Pandangan ini mencerminkan dominasi skeptisisme lingkaran intelektual renaissance di Perancis. Pandangan skeptis ini berasal dari krisis religius di Eropa yang merupakan akibat dari Reformasi Protestan dan diperparah dengan penerbitan "Sextus Empiricus" dan pencerminan ketidaksetujuan antar penulis klasik. Keadaan ini diperparah lagi dengan pertimbangan-pertimbangan tentang perbedaan budaya antara budaya Dunia Baru dan Eropa, serta perdebatan tentang sistem Copernican baru. Semuanya ini telah disusun sedemikian rupa oleh Montaigne dalam karyanya, "Apology for Raymond Sebond", dan dikembangkan oleh para pengikutnya. Descartes diserang dengan pandangan tersebut, Descartes berargumen “hanya mengakui bahwa  kepastian bisa dijadikan sebagai dasar pengetahuan dan bahwa dia sendiri memiliki suatu metode untuk mendapatkan kepastian itu”.
Pada tahun 1628, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian, ia menetap di Belanda. Negeri ini dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena iklim kebebasannya terbaik di Eropa dan dia ingin menjauhkan diri dari Paris yang kehidupan sosialnya tidak memberikan ketenangan yang cukup.  Descartes hidup di Belanda hampir kurang lebih 21 tahun. Di negeri inilah ia dengan leluasa menyusun karya-karya di bidang ilmu dan filsafat.
Dalam tahun 1628-1629, Descartes membuat risalah yang disebutnya “Rules for the Direction of Understanding” (Aturan untuk Mengarahkan Pikiran). Karya yang tidak terselesaikan itu direncanakan berisi tidak kurang dari tigapuluh enam aturan. Beberapa aturan tersebut antara lain
(1) Aturan Empat dari risalah itu menyebutkan bahwa seharusnya metode yang memandu penyelidikan bukan keingintahuan dan adanya ketersediaan metode umum yang lengkap untuk memecahkan masalah ; (2) Aturan Lima berisi nasihat kepada peneliti untuk mengurangi secara bertahap dalil-dalil yang rumit dan kabur menjadi dalil yang lebih sederhana ; (3) Aturan Enam memperluas apa yang termasuk sebagai “sederhana” ; (7) Aturan Tujuh memberikan suatu teknik pentahapan, menurut istilah yang digunakan dalam Aturan Lima, dimulai dari dalil-dalil yang paling sederhana, lalu mengulangi lagi semua aturan yang lain. Ke dalil paling sederhana inilah suatu soal yang sukar telah disederhanakan.[2]

Pada tahun 1633 Descartes menyelesaikan bukunya berjudul “Le Monde”. Buku tersebut memuat konsep pemikiran Galileo dan pemikiran Copernicus. Buku tersebut merupakan kritik terhadap pandangan Gereja mengenai perputaran bumi dan alam semesta. Pemikiran Descartes berbasis rasionalisme tentang hal tersebut dianggap oleh kalangan gereja sebagai ajaran-ajaran yang membawa ke arah atheisme.
Karya Descartes berikutnya adalah  “Discours de la méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles sciences” atau “Discourse on Method” yang dipublikasikan pada tahun 1637. Buku ini ditulis dalam bahasa Perancis bukan bahasa Latin. Didalamnya Descartes menyuguhkan contoh-contoh penemuan-penemuan yang telah dilakukannya dengan menggunakan metode keraguan. Tambahan pertamanya Optik, Descartes menjelaskan hukum pelengkungan cahaya. Ia juga mempersoalkan masalah lensa dan pelbagai alat-alat optik, melukiskan fungsi mata dan pelbagai kelainan-kelainannya serta menggambarkan teori cahaya yang hakekatnya versi pemula dari teori gelombang yang belakangan dirumuskan oleh Christiaan Huygens. Tambahan keduanya terdiri dari perbincangan ihwal meteorologi, Descartes membicarakan soal awan, hujan, angin, serta penjelasan yang tepat mengenai pelangi. Dia mengeluarkan sanggahan terhadap pendapat bahwa panas terdiri dari cairan yang tidak tampak oleh mata, dan dengan tepat dia menyimpulkan bahwa panas adalah suatu bentuk dari gerakan intern. Tambahan ketiga Geometri, dia mempersembahkan sumbangan yang paling penting dari kesemua yang disebut di atas, yaitu penemuannya tentang geometri analitis. Ini merupakan langkah kemajuan besar di bidang matematika, dan menyediakan jalan buat Newton menemukan Kalkulus.[3]
Dalam buku Discourse on Method itu pula Descartes mengemukakan perlunya memperhatikan empat hal dalam pencarian kebenaran melalui metode keragu-raguan. Keempat hal tersebut adalah:
1.      Kebenaran baru dinyatakan sahih jika telah benar-benar indrawi dan realitasnya telah jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
2.      Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sampai sebanyak mungkin, sehingga tidak ada suatu keraguan apapun yang mampu merobohkannya.
3.      Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
4.      Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga diperoleh keyakinan bahwa tidak ada satupun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.[4]

Pada 1641 Descartes kembali menulis buku berjudul "Meditationes de Prima Philosophia" (Meditations on the First Philosophy). Karya pendek ini bersifat lebih metafisika daripada ilmiah, dan bertujuan untuk mendirikan dasar-dasar tertentu untuk ilmu pengetahuan. Descartes melalui karyanya ini hendak mencari suatu dasar bagi metode ilmu. Ia bertanya, “Bagaimana saya bisa tahu bahwa hal yang menampakkan dirinya dengan jelas pada mata rohani ialah hal yang betul-betul terdapat dalam dunia luar,?”, “Bagaimana saya tahu bahwa itu bukan impian ?”[5]
Setahun kemudian yaitu pada 1644 Descartes menerbitakan karya filsafat lainnya yang berjudul “Principia Philosopiae (Principles of Philosophy). Karya tulis ini merupakan pernyataan terlengkap atas filosofinya yang matang dan atas sistem Cartesian secara umum. Bab 1 menjelaskan pandangan metafisika Descartes. Bab 2 memberikan penjelasan rinci tentang prinsip-prinsip fisika Catesian. Bab III menerapkan prinsip- prinsip fisika untuk memberikan penjelasan rinci tentang bumi, dan Bab IV tentang berbagai fenomena di bumi. Dua bagian lagi, direncanakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan tanaman dan binatang dan manusia, tetapi tidak lengkap[6]
Descartes menghabiskan masa akhir hidupnya di Swedia. Kehadirannya di Swedia untuk memenuhi tawaran Ratu Christina yang menginginkan pelajaran filsafat darinya. Jadwal pelajaran yang diharuskan diajarkan kepada sang Ratu sangat ketat. Aktivitas mengajar yang sangat padat membuatnya ia jatuh sakit. Descartes akhirnya meninggal dunia pada 11 Februari 1650.
Fikiran utama Descartes perihal filsafat adalah metode keraguan. Dalam masa hidupnya Descartes melihat kenyataan bahwa scholastik tidak dapat memberikan penjelasan ketika dihadapkan pada ketidakpastian yang merajalela dalam kalangan ilmu dan filsafat. Menurut Descartes ketidakpastian tersebut disebabkan oleh tidak adanya pangkal yang sama dan tidak ada metode. Pengembangan ilmu dan filsafat memerlukan metode agar tidak timbul ketidakpastian. Kenyataan inilah yang mengilhami gagasan filsafat Descartes untuk mencari metode baru dalam rangka mencapai kepastian. Descartes menganjurkan pengembangan ilmu dan filsafat harus berangkat bukan dengan kepercayaan melainkan dengan keraguan. Meragukan adalah aktivitas berpikir. Berpikir berarti menyadari . Keraguan atau kesangsian sebagai proses berpikir menyatakan adanya “aku”. Di atas kesangsian atas realitas dan pengetahuan inilah rasionalisme dibangun.
Descartes ingin mengembangkan aturan universal dari pikiran manusia dan tidak mewahyukan corak dari dunia yang dipelajari. Bagi Descartes hal itu dianggap mungkin karena roh kita mempunyai idea innata.[7] Ide ini merupakan ide yang sudah ada waktu manusia lahir. Berdasarkan idea innata atau idea bawaan dan aturan dari pikiran yang logis manusia dapat mencapai pengetahuan yang pasti.

B
COGITO ERGO SUM
What then I am ? A thinking thing. What is that ? One that doubts, understands, asserts, denies, is willing, is unwilling, which also imagines and feels


Cogito ergo sum yang berarti “aku berpikir maka aku ada” merupakan suatu  ungkapan yang bermakna membuktikan satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan “aku”. Keberadaan ini bisa dibuktikan dengan fakta bahwa “aku” berpikir.
Menurut Bernard William dalam bukunya Descartes The Project of Pure Enquiry,  Descartes mengambil dua tahap penting dalam Cogito ergo sum. Tahap pertama, Descartes mengklaim bahwa ada berbagai macam jenis cogitationes spesifik yang dia yakini. Berbagai jenis cogitatio itu adalah doubting-willing-imagining dan konten cogitatio. Descartes sedang meragukan atau berimajinasi tentang beberapa hal yang partikular. Jika sebelumnya Descartes hanya mempertimbangkan cogito dalam bentuk ketidakspesifikannya yaitu “Aku berpikir” Descartes menambahkan proposisi spesifik seperti “Aku menyangkal bahwa aku memiliki tubuh” atau “Aku berpikir” bahwa “Aku dapat merasakan rasa panas. Pada tahap kedua, Descartes mempersiapkan dan menyertakan di antara cogitationes tersebut beberapa identifikasi unsur mental murni dalam pengalaman-pengalaman yang lalu. Descartes memperlakukan unsur-unsur mental dalam pengalaman-pengalaman yang lalu itu sebagai persyaratan keberadaan tubuh dan dunia fisik dan karenanya menjadi dikesampingkan oleh keraguan. Sekarang Descartes mempersiapkan untuk “memotong” pengalaman mental yang disebutnya sebagai sensasi. Descartes yakin adanya sensasi, sebab hal itu hanya sebagai fenomena mental, meskipun dirinya tetap ragu-ragu apakah pengalaman semacam itu berkaitan dengan tubuh fisik melalui organ-organ fisik yang masuk akal.[8] “Aku mempunyai tubuh”,  kalau hal ini terdapat kebenaran yang tahan dalam kesangsian yang radikal, itulah kebenaran yang sama sekali pasti dan harus dijadikan dasar bagi seluruh ilmu pengetahuan.
Merujuk pendapat Williams tersebut di atas, maka “kepastian” (eksistensi aku) harus dimulai dengan meragukan semua persoalan yang telah diketahuinya dan segala hal yang dimilikinya. Descartes meragukan apakah dirinya sekarang sedang berdiri menyaksikan realitas yang tampak di matanya atau dirinya sedang tidur dan bermimpi. Keraguan baginya sangat penting agar ia tidak tertipu dari apa yang dibayangkan, dipahami, maupun dirasakan. “Aku meragukan hampir segalanya, meragukan yang aku pahami, meragukan segala hal yang aku miliki, karena aku tidak ingin tertipu”.  Dengan demikian, keraguan itu meliputi seluruh pengetahuan yang dimiliki, termasuk kebenaran-kebenaran yang sampai kini dianggapnya sudah final dan pasti. Menurut Descartes,  semakin kita meragukan segala sesuatu maka semakin pastilah bahwa yang kita ragukan itu ada dan bahkan semakin ber-ada (eksis).
Berdasarkan kesangsian yang metodis ini  satu hal  “ada” yang tidak dapat diragukan, yaitu “aku ragu-ragu”. Ini bukan khayalan, melainkan kenyataan bahwa “aku ragu-ragu” Jika aku menyangsikan sesuatu, aku menyadari bahwa aku menyangsikan adanya. Dengan kata lain kesangsian itu langsung menyatakan adanya aku. Itulah kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi.
Keraguan merupakan metode. Ia ragu-ragu bukan untuk ragu-ragu melainkan untuk mencapai kepastian. Ia memikirkan ke arah itu dengan cara menyangsikan segala-galanya atau menerapkan metode keragu-raguan termasuk kebenaran-kebenaran yang sudah ada. Apabila kebenaran itu tahan terhadap uji kesangsian maka hal tersebut adalah yang pasti dan dapat dijadikan dasar bagi seluruh pengetahuan.
Kepastian terdapat pada kesadaran melalui kesadaran ini nampaklah tindakan budi (rasio) dan budi ini menemukan pangkal untuk bertindak seterusnya dan mengadakan sistem filsafat. Rasio sajalah yang dapat membawa ke arah kebenaran. Rasio merupakan perintis dalam segala jalan pikiran. Adapun yang benar adalah idees claires et distinctes. Jelas (clearly) artinya, sifat objek yang dengan terang menampakkan dirinya. Distincly berarti idea yang diuraikan sampai unsur yang terakhir.  Jadi, hanya yang aku mengerti dengan nyata dan jelas saja yang harus diterima sebagai benar. Itulah norma untuk menentukan kebenaran. Dan, yang tidak dapat diutarakan dengan idea yang demikian itu tidak masuk dalam wilayah filsafat.
Clearly and distinctly merupakan pemberian Tuhan, sebelum orang dilahirkan. Idea ini dinamakan ideae innatae atau ide bawaan. Idea ini benar karena pemberian Tuhan bukan hasil abstraksi yang diambil dari hal-hal yang konkrit. Idea clearly and disctincly adalah bekal hidup, hadiah dari kebenaran sejati. Tuhan yang sungguh-sungguh ada tidak akan membiarkan idea-idea itu akan tidak benar.
Dengan metode keraguan ini, Descartes ingin mengokohkan kepastian akan kebenaran, yaitu cogito  atau kesadaran diri. Cogito adalah sebuah kebenaran dan kepastian yang sudah tidak tergoyahkan lagi karena dipahami sebagai hal yang sudah jelas dan terpilah-pilah ( claire et distincte).
Dalam membangun filsafatnya Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:
a.  Apakah kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b.  Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c.   Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d.   Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada pengetahuan yang benar:
  1. Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang terang dan jelas.
  2. Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut sebagai pola analisis.
  3. Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan luas dari gagasan tersebut.  Metode yang ketiga ini disebut dengan pola kerja sintesa atau perangkaian.
  4. Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut dengan verifikasi.[9]


C
METODE CARTESIAN-NEWTONIAN
Tiang Besar Aliran Modernisasi Terutama Dalam Metode Ilmiah Positivisme Serta Kaitannya dengan metode ilmiah positivistik/kuantitatif

Peter E. Glasner mengemukakan ada empat hal kecenderungan pokok yang menandai modernisme yaitu rasionalitas, industrialisasi, sekulerisasi, dan urbanisasi.[10] Nasr menyebut karakteristik dunia modern yakni bersifat antroposentris, dalam arti  bahwa seluruh lokus semesta diderivikasi pada manusia. Manusia menjadi pusat yang dijadikan standar atau ukuran bagi segala sesuatu, manusia yang di maksud disini adalah aspek rasio-nya.[11]
Pola pemikiran Cartesian-Newtonian telah meletakkan pondasi metode ilmiah yang mendalam dan menjadikan segala sesuatu dipandang dari sudut kesadaran “aku” atau antroposentris. Metode ilmiah yang diilhami Cartesian-Newtonian telah melahirkan pengembangan teknologi. Teknologi adalah “anak” dari ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi adalah karakter dari modernisme. Perkembangan teknologi telah mengantarkan berbagai penemuan di berbagai bidang. Kepesatan teknologi penopang industri telah melahirkan revolusi industri. Jika merujuk pada Glasner maka industri merupakan wacana modernisme.
Metode Cartesian-Newtonian memperlakukan manusia dan alam keseluruhan seperti mesin besar yang diatur menurut hukum-hukum objektif, mekanis, deterministik, linier, reduksionis dan materialistik, atomistik-instrumentalistik .Rene Descartes, begitu juga Newton mewariskan pandangan mekanistik. Newton menggabungkan mimpi visioner rasionalisme Descartes dan visi empirisime Francis Bacon (1561-1626) agar dapat ditransformasikan ke dalam kehidupan nyata melalui peletakkan dasar-dasar mekanika. Ia memadukan Copernicus (1473-1543), Johannes Kepler (1571-1626), dan Galileo (1546-1626) di bawah asumsi kosmologis Descartesian yang mekanistik, atomostik, deterministik, linier, dan serba kuantitatif; dan pada saat yang sama, ia menerapkan metode eksperimental-induksi Baconian. Pemikiran Cartesian-Newtonian linier dengan prinsip-prinsip positivisme yang meletakkan kerangka bahwa pengetahuan harus dibangun melalui hukum-hukum yang ditinjau, diuji dan dibuktikan secara empiris.
Positivisme berakar pada empirisme. Tokoh-tokohnya Francis Bacon, John Lock, dan David Hume. Positivisme menyatakan bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid dan fakta-fakta sajalah yang menjadi objek. Positivisme menekankan peran penting metode ilmiah sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar tentang realitas. Pengetahuan harus berdasarkan prinsip verifikasi sebagai kriteria untuk menentukan bahwa sebuah pernyataan mempunyai makna kognitif. Kebermaknaan tersebut jika pengetahuan itu dapat diverifikasi secara empiris. Verifikasi inilah yang menjadi tolok ukur kebenaran sebagaimana metode Cartesian-Newtonian.
Positivistik menolak metafisika, sebab tidak dapat diverifikasi secara empirisme. Positivisme cenderung mendasarkan pengetahuan atas persepsi dan penyelidikan sains obyektif. Berpikir positif adalah berpikir nonteleologis (teleos =  berarah kepada tujuan final) atau tidak lagi mencari pengetahuan absolut tentang sebab-sebab terakhir tetapi menanyakan kaitan statis serta dinamis dari gejala-gejala. Inilah yang dikatakan reduksionis dan deterministik dalam Cartesian-Newtonian. Sebagaimana Cartesian yang tidak menerima suatu apapun sebagai kebenaran, kecuali “aku” melihat dengan clearly and distinctly sehingga tidak meragukan, positivistik pun mengatakan bahwa ilmu pengetahuan harus objektif dan teori-teori harus bebas nilai. Positivistik melembagakan dunia objektivistiknya dalam suatu doktrin yang disebut doktrin kesatuan pengetahuan.











B.     BIOGRAFI, KARYA TULIS, DAN KARIR IMMANUEL KANT
Immanuel Kant berasal dari keluarga miskin. Ia dilahirkan pada 22 April 1724 di Prusia Timur (sekarang namanya Kalingrad). Pada usia 8 tahun Immanuel Kant mulai memasuki jenjang pendidikan formal di Collegium Fridericianum. Direktor sekolah ini adalah seorang Pietisme (orang-orang alim) yang menganjurkan dilaksanakannya ibadah-ibadah ‘suka-rela’ sesering mungkin. Kehidupan Kant semasa anak-anak sangat dipengaruhi  Pietisme tersebut dalam dua cara. Di satu sisi, menganggap bahwa sembahyang tidak perlu, karena Tuhan sudah mengetahui kebutuhan-kebutuhan manusia, di sisi lainnya Pietisme menganggap  bahwa tuntutan agama dan meyakini Tuhan adalah penting.
Atas bantuan dari temannya, Immanuel Kant melanjutkan studi di sekolah yang sama. Immanuel Kant berhasil menyelesaikan studinya dengan meraih gelar doktor.  Sejak tahun 1755 Immanuel Kant mengajar filsafat di Universitas Konigsberg. Immanuel Kant telah banyak mempublikasikan gagasan-gagasannya secara besar-besaran dalam buku dan surat kabar. Lebih dari itu, ia mengajar tentang topik yang sangat luas meliputi matematika, fisika, kosmologi, antropologi, geografi fisika dan pendidikan. Immanuel Kant juga pengampu matakuliah teologi natural dari berbagai cabang filsafat. Kuliahnya jenaka tetapi serius sehingga banyak orang dari segala penjuru Jerman datang Ke Konigsberg untuk mendengarkan kuliah-kuliahnya. Meskipun Immanuel Kant mempunyai reputasi, ia tidak pernah  memperoleh jabatan di universitas tersebut hingga tahun 1770 Immanuel Kant menerima gelar profesor dalam bidang logika dan metafisika.
Immanuel Kant pada tahun 1762 menerbitkan karyanya yaitu On the only Possible Demonstrative Proof of the Existence of God. Dalam buku ini ia berusaha keras menunjukkan bahwa jika mungkin Tuhan ada dan itu adalah mungkin ada maka Tuhan harus ada. Kata Immanuel Kant hal itu merupakan bukti yang secara keseluruhan lebih a priori daripada bukti apapun oleh karena itu tidak mengasumsikan bahwa segala sesuatu secara aktual ada. Dengan demikian membuat premis empiris apapun tidak berguna.
Dalam sebuah essai yang ditulisnya dalam waktu yang sama dan diterbitkan pada tahun 1764, Enquiry into Distinctness of the Fundamental Propositions of Natural Theology and Morality, Immanuel Kant menerima prinsip dasar etika Wolff dalam bentuk “Lakukan perbuatan yang paling sempurna yang dapat Anda lakukan”. Dalam essai ini Immanuel Kant menunjukkan perhargaan terhadap tulisan-tulisan dari Shafesbury, Hutcheson, dan Hume, para penulis yang lebih menekankan perasaan dan kesadaran moral daripada rasio. Hal ini menunjukkan bahwa Immanuel Kant sudah memperluas pandangannya dari bentuk pencerahan yang bercorak Jerman rasionalistik ke teori-teori kaum empiris yang dikembangkan di tempat-temapat lain.
Dengan terbitnya Critique of Pure Reason (Kritik Atas Akal Budi Murni) pada tahun 1781, ia menjadi pendiri sekaligus pemuka madzab filsafat baru yang disebut Filsafat Kritis. Madzab ini diterima dengan cepat di universitas seluruh Jerman dan memberi Kant reputasi internasional. Dalam kata pengantar untuk edisi pertama dari buku tersebut, Kant menulis: Era kita pada dasarnya adalah era kritisisme yang kepadanya segala sesuatu harus tunduk. Agama, dikarenakan kesuciannya dan legislasi, dikarenakan keagungannya, keduanya menghindarkan diri dari kritisisme. Tetapi keduanya kemudian segera curiga terhadap diri mereka sendiri dan tidak dapat mengklaim bahwa penghormatan tulus terhadap rasio yang diberikan kepada siapapun telah dapat menahan pemeriksaannya yang bebas dan terbuka”[12].  Crtitique of Practical Reason (Kritik atas Akal Budi Praktis) yang terbit pada tahun 1788 dan Critique of Judgement yang terbit pada tahun 1790 melengkapi penjelasan Kant yang sistematis tentang pandangan-pandangannya.
Pada tahun 1792, Immanuel Kant mendapat tekanan politik dari pemerintah. Raja Fredrich William II melarang Immanuel Kant mengajar dan menulis tentang pelajaran agama. Alasannya, karena tulisan-tulisannya yang mengekspresikan pemikiran rasionalis dianggap tidak lazim dalam teks-teks agama. Immanuel Kant mematuhi larangan tersebut. Setelah ia pensiun dari perguruan tinggi Konigsberg, beberapa tahun kemudian tepatnya tahun 1804 Immanuel Kant meninggal dunia. 
B
PENGETAHUAN A PRIORI -  A POSTERIORI DAN JUDGMENTS ANALYTIC  SYNTHETIC

Berdasarkan cara perolehannya, pengetahuan dibedakan menjadi dua yaitu pengetahuan a priori (yang datang terlebih dahulu), dan pengetahuan a posteriori (yang datang kemudian).
Pengetahuan disebut a priori karena pemerolehannya tidak mensyaratkan pengalaman. Pengetahuan yang datang sebelum kita berinteraksi dengan obejk. Artinya, sebelum memiliki pengalaman akan sesuatu kita sudah tahu tentang sesuatu. Pengetahuan a priori bersumber pada rasio, bahwa pikiran berkembang secara logis mulai dari idea innata (idea pembawaan) sehingga terjadi kemungkinan bagi suatu pengetahuan. Pengetahuan apriori diarahkan kepada budi. Pengetahuan a priori beraksentuasi pada dunia “Aku” (objek pengenalan berpusat pada subjek, bukan pada objek). Pengetahuan a priori merupakan pengetahuan sebenarnya karena menyangkut dunia ide yang bersifat tetap. Kebenaran pengetahuan a priori bersifat universal dan niscaya. Pengetahuan a priori menekankan pentingnya matematika dalam ilmu pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan disebut a posteriori jika pengetahuan diperoleh berdasarkan pengalaman sebelumnya. Pengetahuan a posteriori bersumber pada pandangan empirisme yang menyatakan sumber pengetahuan adalah pengalaman indrawi. Pengetahuan a posteriori diarahkan kepada dunia objek. Pengetahuan ini tidak spekulatif dan berdasarkan kenyataan sejati dari realitas.   Pengetahuan a posteriori tidak universial. Pengetahuan yang bersumber pada pengalaman indrawi menekankan pentingnya eksperimen dalam ilmu pengetahuan ilmiah.
Manakah yang menjadi sumber pengetahuan, akal budi atau pengalaman ? Manakah di antara keduanya yang benar ?. Pertentangan pemikiran antara rasionalisme dan empirisme inilah menjadi dorongan kuat  Immanuel Kant untuk menyelesaikannya. Immanuel Kant pada mulanya mengikuti rasionalisme, kemudian menurut katanya sendiri ia terjagakan oleh Hume penganut empirisme. Namun, Kant tidaklah menerima begitu saja empirisme karena empirisme membawa keragu-raguan terhadap budi. Kant mengakui kebenaran ilmu, ia mengakui bahwa budi dapat mencapai kebenaran, namun apa syarat-syarat untuk mencapai kebenaran itu ?
Ddalam bukunya The Critique of Pure Reason, akal budi manusia di dalam suatu lingkungan kognisinya mempunyai hakikat sedemikian rupa, sehingga manusia tidak tahan untuk tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia yang sesuai dengan hakikat akal budi-nya, yang tak akan pernah mereka ketahui jawaban-jawabannya. Akal budi manusia memulai sesuatu dengan prinsip-prinsip yang tidak dapat disalurkan lewat pengalaman, dimana pada waktu yang sama pengalaman dapat memastikan kebenaran. Dengan prinsip-prinsip tersebut, akal budi manusia bangkit. Namun dengan cepat ditemukan bahwa kerja akal budi manusia tidak pernah selesai, karena pertanyaan-pertanyaan baru tidak akan pernah berhenti untuk menunjukkan dirinya; Dengan demikian akal budi manusia terdorong untuk meminta pertolongan kepada prinsip-prinsip yang sebenarnya melebihi wilayah pengalaman, dan juga tidak dapat dipercayai oleh pandangan umum. Hal ini yang kemudian menjadi kekacauan dan kontradiksi, dimana akal budi manusia diduga memiliki kesalahan yang tersembunyi yang tidak dapat ditemukan, karena prinsip-prinsip yang dianutnya tadi melebihi batas dari pengalaman, yang tentunya tidak dapat diuji melalui patokan itu. Arena dari kompetisi antara akal budi dan pengalaman yang tidak berujung inilah yang dinamakan metafisika. Ada dua pengertian metafisika, menurut Kant: Metafisika yang pertama adalah pengetahuan spekulatif tentang realitas yang supersensibel dan tak bersyarat. Inilah pengertian metafisika kuno yang dibongkar dalam The Critique of Pure Reason. Sedangkan metafisika yang hendak dibangun Kant adalah “metafisika sebagai sains”, yakni inventarisasi seluruh pengetahuan yang diperoleh dengan akal budi murni dan tertata secara sistematis. Metafisika sebagai sains terdiri dari dua bagian: metafisika alam, yakni yang berisikan seluruh prinsip a priori tentang “apa”; dan metafisika moral, yang berisikan seluruh prinsip a priori tentang “apa yang seharusnya”.[13]

Dalam buku tersebut Kant membagi pengetahuan menjadi pengetahuan analitis dan pengetahuan sintetis. Pengetahuan sintetis terdiri dari sintetis a priori dan sintetis a posteriori. Setiap pengetahuan menurut Kant harus dipaparkan dengan putusan. Adapun putusan itu merupakan rangkaian pengertian subyek dan predikat. Berdasarkan rangkaian tersebut dapat dijelaskan pengetahuan-pengetahuan a priori, a posteriori, sintesis a posteriori.
1.      Pengetahuan analitis yaitu pengetahuan yang proposisi konsep predikatnya terdapat dalam konsep subyek. Predikatnya telah tercantum dengan niscaya (seharusnya) pada subyekya. Contoh: “Semua manusia pasti mati”, konsep “mati”, dinyatakan dalam sebuah analisis dari karakteristik manusia. Menurut para filosof sebelum Kant, dalam proposisi ini, kebenarannya hanya bisa diketahui secara a priori. Dan ini berarti jika proposisi itu benar maka kebenarannya bersifat niscaya dan dan tidak tidak bergantung dari pengalaman untuk membuktikan status kebenaran itu. Contoh lain: “Semua makhluk hidup bernafas”. “Bernafas” ini tercantum dengan niscaya pada pengertian “makhluk hidup”.  Makhluk hidup harus bernafas, siapa mengerti akan “makhluk hidup” maka dengan sendirinya mengerti pula bahwa makhluk hidup itu bernafas. Dari menganalisis pengertian yang merupakan subyek (makhluk hidup) itu, mengertilah kita akan bernafas. “Dari analisis subyek timbullah predikatnya. Oleh sebab itu putusan demikian oleh Kant dinamakan putusan analitis.”[14]
2.      Pengetahuan sintetis yaitu pengetahuan yang proposisi konsep predikatnya tidak ditemukan dalam konsep subyeknya.Contoh: Jarak Surabaya – Malang adalah 80 Km. Proposisi ini merupakan sintesis. Konsep predikat memberi suatu pengertian yang baru bagi konsep subyek. Predikat merupakan tambahan subyek. Pengertian “80 Km” yang merupakan predikat itu tidak terdapat dengan niscaya pada “Surabaya-Malang” sebagai subyeknya. Proposisi sintetis bersifat kontingen yang berarti bahwa proposisi itu bisa benar atau salah sehingga kebenarannya hanya bisa diketahui secara a posteriori. Dengan kata lain kebenarannya ditentukan oleh pembuktian dari pengalaman. Hanya sesudah ada pengalaman saja orang dapat menjelaskan putusan sintetis.
Yang menjadi pertanyaan: sungguhkah tiap-tiap putusan sintetis itu tentu a posteriori ? Menurut Kant tidaklah demikian. Dalam ilmu ada putusan-putusan yang umum dan mutlak, dan ini haruslah diterima karena ilmu memang mengenai yang umum itu. Namun, dalam ilmu itu pula ternyata bahwa predikat sesungguhnya memberi keterangan tambahan kepada subyek. Misalnya, “segala sesuatu pasti memiliki sebab”. “Kesebaban” yang merupakan predikat ini tentulah tidak terdapat pada subyek walaupun dianalisis tidaklah muncul pengertian “sebab”. Contoh tersebut merupakan sintesis a priori.  Dalam sintesis a priori harus ada putusan-putusan yang predikatnya menambah sesuatu yang baru kepada subyek namun harus bersifat umum dan mutlak.


C
PEMIKIRAN IMMANUEL KANT DIMASUKKAN KE DALAM ALIRAN “IDEALISME TRANSEDENTAL”

Immanuel Kant mengkritik aliran empirisme. Dalam penyelidikan transendental aesthetik, Kant menyatakan bahwa segala pengetahuan indera memerlukan unsur a priori.. Walaupun konsep empiris selalu sudah terlibat di dalam pengalaman, tetapi pengalaman itu sendiri belum cukup untuk membentuk suatu konsep. Ruang dan waktu adalah dua kondisi yang diperlukan untuk mencapai pengetahuan inderawi. Akan tetapi, ruang dan waktu tidaklah cukup sebagai kondisi yang diperlukan bagi suatu obyek untuk dipikirkan secara konseptual. Pengalaman indrawi bukanlah benda-benda yang kita amati memiliki waktu dan ruang melainkan bentuk waktu dan ruang yang sudah ada pada budi kita sebelum ada pengalaman atau pengamatan..
Inti utama dari idealisme transendental Kant adalah bahwa manusia hanya dapat mengetahui penampakan dari benda tersebut, dan bukan benda-pada-dirinya-sendiri. Benda-pada-dirinya-sendiri adalah obyek yang telah diabstraksikan, sehingga kita bisa mengartikannya sebagai ada (being). Dengan demikian, benda itu tidak dapat kita ketahui. Kita hanya dapat mengetahui benda-pada-dirinya-sendiri dengan menempatkannya dalam konsep-konsep yang sebenarnya tidak memadai. Idealisme transendental adalah pandangan yang menyatakan bahwa kita tidak pernah mengetahui benda sebagai hasil abstraksi dari pengalaman kita. Kita hanya mengetahui penampakan dari benda tersebut dalam arti transendental, dan tidak pernah benda-pada-dirinya-sendiri. Benda yang kita ketahui bukanlah sebuah ilusi belaka, tetapi menyangkut pula keberadaannya dalam ruang dan waktu.[15]
Jelaslah, idealisme transendental Immanuel Kant bertolak belakang dengan pandangan empirisme yang mengatakan bahwa pengetahuan manusia mampu menangkap benda-pada-dirinya sendiri yakni obyek yang sepenuhnya berada indipenden dari pikiran kita. ; menolak empirime yang berpendapat bahwa kita hanya mengetahui keadaan-keadaan mental kita yaitu dalam rupa penampakan empiris ; menolak bahwa pengetahuan
manusia ditujukan untuk mengetahui benda-pada-dirinya-sendiri.



[1] Tom Sorell, 1994, Descartes, terj.Joko Suyono, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, hal 8.
[2] Ibid, hal 17-18.
[4] Juhaya, S Pardja dalam Atang Abdul Hakim dan Beni Ahmad Saebani, 2008, Filsafat Umum Dari Metodologi Sampai Filosofi, Bandung: Pustaka Setia, hal 251.
[5] M.A.W Brouwer, 1980, Sejarah Filsafat Barat Modern Dan Sejaman, Bandung: Alumni, hal 5.
[7] M.A.W. Brouwer, op.cit. hal 5.
[8] Bernard Williams, 2005, Descartes The Project of Pure Enquiry, London: Routledge, hal 63.

[10] Peter E. Glasner, Sosiologi Sekularisasi : Suatu Kritik Konsep, (Yogyakarta ; Tiara Wacana, 1992), h. 91

[11]http://matapenainstitute.com/index.php?option=com_content&view=article&id=77:kritik-hossein-nasr-atas-problem-sains-dan-modernitas&catid=1:latest-news

[12] HB, Action, 2003, Dasar-Dasar Filsafat Moral Immanuel Kant, Surabaya : Pustaka Eureka, hal 7.
[13]http://kili.multiply.com/journal/item/12/Sekilas_Pemikiran_Immanuel_Kant_Arsip_Tugas_Metode_Penelitian_Kualitatif

[14] Poedjawijatna, 2002, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta: hal 108.

Tidak ada komentar: