Jumat, 21 Juni 2013

PAPER SEJARAH MARITIM

BAB III

Masyarakat Nelayan dan Sistem Sewa :
Perkembangan Usaha Perikanan Laut 1850-1880

            Usaha penangkapan ikan di Jawa dan Madura antara tahun 1850-an sampai tahun 1870-an tampaknya mencapai tingkat perkembangan yang mampu memenuhi kebutuhan ikan sendiri. Penangkapan ikan sebagai sumber mata pencaharian secara ekonomis juga sangat menguntungkan, sementara kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan cukup stabil. Berkembangnya penangkapanikan laut di Jawa dan Madura dimungkinkan terutama oleh adanya investasi modal yang cukup dan pemasaran produksi ikan yang lancar.
Modal Patungan dan SistemSewa :
Perkembangan Usaha Penangkapan Ikan Sampai Tahun 1850
            Usaha perikanan tampaknya telah menjadi usaha yang pentin, dan perlu di atur oleh kerajaan, khususnya perikanan tambak, sehingga dalam undang0-undang Jawa Kuno KoetaraManawa dicantumkan aturan-aturan pertambakan dan hukuman bagi mereka yang mencuri ikan dari tambak.
Penulis yang mula-mula memberikan perhatian kepada masalah perikanan di Jawa adalah Raffles, meskipun tidak banyak mengungkapkan masalah perikanan di Jawa ini. Usaha penangkapan ikan di pantai utara Jawa pada awal-awal abad ke-19 berkembang terutama di daerah timur laut Pulau Jawa. Produksi ikan pada masa-masa ini dihasilkan terutama dari hasil penangkapan ikan lepas pantai. Boomgard memperkirakan bahwa di Jawa pada tahun1820 terdapat sekitar 35.000 orang nelayan yang melakukan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utamanya.
Perkembangan penangkapan ikan di daerah Jawa bagian barat rampaknya memang cukup lambat, sebagaimana yang tampak pada usaha penangkapan ikan di Banten,Cirebon, Tegal, dan Semarang.
Semarang, Tegal, Cirebon, dan Banten semuanya bisa disebutkan terletak di daerah pantau utara Jawa bagian barat. Apabila perkembangan penangkapan ikan di daerah-daerah ini merupakan gambaran umum dari usaha penangkapan ikan yang ada di pantai utara Jawa dalam periode tahun 1800 sampai tahun 1850-an masih memusat terutama di wilayah pantai utara Jawa bagian timur.
Usaha penangkapan ikan merupakan usaha yang padat modal. Makin besar modal usaha yang ditanamkan berarti makin besar pula kemungkinan suatu usaha akan berkembang, demikian pula sebaliknya. Dalam periode-periode sampai tahun 1850-an, terdapat setidak-tidaknya dua jenis modal usaha yang paling menonjol dalam sektor penangkapan ikan, yakni modal usaha patungan dan modal pinjaman. Modal yang berasal dari kredit pemerintahan boleh dikatakan belom ada. Modal patungan adalah modal usaha yang diperoleh dengan kerja sama antara nelayan, dan ini mungkin merupakan alternatif pertama dalam mengatasi kekurangan modal. Sedangkan modal pinjaman adalah modal usaha yang berasal dari orang-prang kaya setempat, atau dari patcher-patcher Cina.
Dalam sistem patungan, para nelayan biasanya membentuk kelompok kerja yang saling melengkapi dan hasil penangkapan ikannya di bagi menjadi beberapa bagian orang yang terlibat dalam usaha modal penangkapan ikan.
Sistem pembagian hasil berlaku pula di kalangan nelayan yang bekerja dengan modal pinjaman, yakni dengan memberikan hasil tangkapannya kepada yang dimintai modal tersebut.
Selambat-lambatnya sejak awal abad ke-19, Pemerintahan Hindia Belanda menerapkan sistem sewa di sektor penangkapan ikan di pantai utara Jawa dan Madura. Desentralisasi kesatuan-kesatuan politik yang cukup tajam dan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengumpulkan perolehan dari sektor perpajakan pada masa-masa ini mendorong pemerintah melakukan kompromi, aliansi dengan puhak kedua terutama golongan Cina yang secara sosial-ekonomis mempunyai kedudukan yang kuat. Tidak saja sektor penangkapan ikan, sistem sewa ini diterapkan pula disektor-sektor usaha lainnya.
Dalam Indische Begrooting ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Verpachtingen sektor penangkapan ikan meliputi dua hal penting, yakni Vischmarkten dan Visscherijen en het regt om vischnetten te stellen. Dalam ketentuan ini, perikanana tambak dikelompokkan ke dalam Landelijke Inkomsten en Kultures. Pemisahan ini terjadi barangkali karena sifat usaha tambak itu sendiri, yang lebih banyak berkaitan dengan masalah pertanahan.
Sistem sewa diterapkan tidak saja pada usaha penangkapan ikan, tetapi juga diterapkan pada usaha perikanan lainnya, seperti pada usaha pencarian tripang dan kerang mutiara.transaksi sewa-menyewa dilakukan melalui lelang terbuka, pelanggan semacam ini biasanya dilakukan di pemerintahan tingkat Residensi, di pendopo kabupaten di pusat karesidenan. Tawaran yang diajukan merupakan jumlah pembayaran untuk mendapatkan hak melakukan penarikan pajak penjualan dan penangkapan ikan di suatu daerah tertentu selama waktu yang telah ditetapkan.
Seorangpatcher dalam melakukan peranannya, patcher dapat juga menyewakan daerah wewenangnya atau sebagian darinya kepada patcher-patcher lainnya, dan mereka ini sekali lagi menyewakan bagian-bagian yang lebih kecil kepada patcher lainnya secara bulanan, atau tahunan, sebagaimana yangterjadi pada penjualan opium. Dalampenjualan opium, penyewaan wilayah pemasaran opium biasanya meliputi wilayah residensi. Sebagai suatu unit penjualan opium. Hubungan antara penyewa dan sub penyewa seperti halnya hubungan penyewa dengan pemerintah, dengan kewajiban-kewajibannya masing-masing yang dikukuhkan dengan akte notaris.
Komersialisasi Sistem sewa
Sektor Penangkapan Ikan
Menjelang akhir paruh pertama dan awal paruh kedua abad ke-19, sistem sewa yang diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda di berbagai sektor dampaknya telah menyebabkan terjadinya penumpukan modal pada kelompok patcher. Mereka telah menjadi kaya dan pengaruhnya makin bertambah besar. Mereka telah memiliki modal untuk meraih sukses si sektor sewa-menyewa, maupun usaha-usaha lainnya.
Hanya saja, dalam sistem kapitalisme merkanyilis yang dijalankan oleh pemerintah sejak periode runtuhnya VOC kurang memberi kesempatan yang cukup bagi swasta untuk mengembangkan usahanya di berbagai sektor penting. Sistem tanam paksa adalah wujud dari bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut. Kebijaksanaan politik yang menganut pola eksploitasi melalui penyerahan paksa pada masa-masa ini memang di pandang yang paling cocok pengelolaan Indonesia sbagai daerah wingewst, daerah yang harus memberikan keuntungan bagi negara induk. Dalam konteks seperti ini, sektor penangkapan ikan sebagai sektor pinggiran yan kurang mendapat perhatian pemerintah, menjadi aktraktif bagi pihak-pihak swasta tertentu untuk menanamkan modalnya.
Sebagai bagian dari sistem sewa pada umumnya, para pachter di sektor penangkapan ikan pada masa-masa ini telah mampu mengembangkan usahanya. Transaksi jual-beli terjadi tidak dengan nelayan perorangan, akan tetapi dengan nelayan sebagai kelompok, yang terikat dalam satu kesatuan kerja yang meliputi juragan dengan pandega perahu.
Peranan pachter sebagai penarik pajak pada tingkatan ini tidak dapat lagi dipisahkan dari peranannya sebagai penyedia modal dan pedagang penampung. Ketentuan pembayaran pajak sebesar1/10 dari hasil tangkapan sebagaimana yang ditetapkan oleh penguasa tidak lagi menjadi batasan. Dengan bisnis yang mereka kembangkan dalam bentuk sewa menyewa tersebut, para nelayan peminjam modal umumnya menanggung beban lebih besar dari ketentuan itu. Belakangan, praktek-praktek yang mereka kembangkan ini dipandang oleh pemerintah sebagai sistem pemerasan keringat. Sementara terhadap nelayan yang tidak terikat hutangnya, para pachter tetap berperan sebagai yang memegang kewenangan melakukan penarikan pajak sebagaimana yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pada umumnya para nelayan harus menyerahkan separo dari hasil ikan yang diperoleh, sebagai keharusan untuk para pembeli modal. Penyerahan sebanyak ini terus berlangsung selama perahu tersebut belum terbayar lunas. Nelayan yang bersangkutan juga harus membayar separo lainnya kepada pemberi modal,dan menyerahkan 1/3 darinya untuk pembayaran perahu yang mereka terima.
Pachter di sektor penangkapan ikan laut hampir semuanya terdiri dari orang-orang Cina. Mereka pada umumnya pedagang-pedagang kaya, mempunyai hubungan dagang dengan daerah-daerah pedalaman, dan sebagian dari mereka juga sekaligus sebagai pemegang hak sewa atas penjualan opium.
Pachter menjadi pusat dari jaringan perdagangan ikan yang terjadi, dan sekaligus berperan penting sebagai penampung hasil tangkapan ikan dari nelayan. Tidak hanya itu, para pachter juga menguasai industri pengasinan dan pengeringan ikan. Hak istemewa yang mereka miliki dalam pembelian garam bahan pengawet ikan dengan harga yang murah dari pemerintah sebagaimana memungkinkan mereka untuk mengembangkan industri pengolahan ikan.
Sampai tahun 1870-an, industri-industri pengasinan milik pachter dapat ditemukan di semua pusat pendaratan ikan di sepanjang pantai utara Jawa dan Madura. Tidak ada saingan yang berarti dalam perdagangan ini dan para pachter menguasai sepenuhnya harga pasar.
Lain halnya dengan di luar Jawa , meskipun pada tempat-tempat tertentu sistem sewa untuk sektor penangkapan ikan juga diterapkan, peranan pachter tidaklah begitu tampak. Keuntungan yang diperoleh mereka tidak seberapa, dan dengan sendirinya mereka tidak terdorong untuk mengembangkan usahanya. Di daerah luar Jawa, penguasa-penguasa setempat biasanya mempunyai peranan penting dalam penyediaan modal untuk sektor penangkapan ikan.
Singkat kata, perkembangan usaha penangkapan ikan setelah tahun 1850 tampaknya memang sulit dilepaskan dari keberadaan sistem sewa. Peranan pachter sangat penting, tidak saja sebagai penarik pajak usaha penangkapan ikan, tetapi juga sebagai penyedia modal bagi nelayan pada umumnya dan sebagai pusat penyaluran dan pengolahan ikan hasil tangkapan. Pada saat ini, usaha penangkapan ikan laut, khususnya penangkapan ikan lepas pantai, dapat tumbuh dengan baik dengan jumlah armada mayang yang terus meningkat. Meskipun para pachter berusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya, namun tampaknya para nelayan masih juga diuntungkan. Selain itu, para pachter menanggung resiko bila terjadi kecelakaan atas perahu yang mereka salurkan kepada nelayan yang belum terbayar lunas, seperti tenggelam atau terbawa arus.

Perdagangan Ikan : Bakulan dan
Pedagang Penampung.
Di lingkungan Pulau Jawa, setidak-tidaknya terdapat dua corak aktivitas pedagang pengecer atau pedagang bakulan dan perdagangan ikan yang berpusat pada pedagang penampung.
Pedagang pengecer biasanya didominasi oleh pedagang-pedagang ikan penduduk setempat, sementara pedagang penampung atau pedagang besar didominasi oleh pachter-pachter Cina. Pada umumnya, pedagang pengecer semata-mata memperdagangkan ikan, terutama ikan segar. Selain itu mereka juga memperdagangkan ikan olahan.
Pedagang pengecer membeli ikan terutama ikan hasil penangkapan dekat pantai, yang digasilkan oleh nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan perahu-perahu kecil milik sendiri. Mereka juga menampung sebagian hasil tangkapan nelayan-nelayan lepas pantai yang tidak terikat hutang dengan pachter. Sistem transaksi yang berlaku antara mereka dan para nelayan pada umumnya sistem ngalap nyaur. Dalam sistem ini posisi pedagang atau bakul ikan sangat dominan. Bakul ikan dapat membawa ikan tanpa membayar terlebih dahulu kepada nelayan.baru setelah ikan terjual, pembayaran ikan baru dilakukan.
Pedagan pengecer yang memperdagangkan ikan dalam jumlah yang cukup banyak biasanya selain menjualnya langsung secara eceran dengan pembayaran kontan, juga menjualnya kepada sub-sub pengecer dengan secara kredit. Sub pengecer menanggung resiko kerugian, bila ia tidak dapat menjual ikan dagangannya atau menjualnya dengan harga yang lebih rendah dari harga pembelian. Sementara pedagang pengecer menanggung resiko bila sub pengecer tidak membayar ikan yang berhasil dijualnya
Berbeda dengan pedagang-pedagan pengecer yang jangkauannya terbatas di daerah-daerah sekitar pantai, pedagang-pedagang penampung atau pedagang besar dapat menjangkau daerah pemasaran lebih luas. Mereka umumnya menampung dan membeli ikan-ikan tangkapan nelayan lepas pantai ataupun nelayan dekat pantai, baik neleayan yang tidak ataupun yang terikat hutang kepada mereka. Berbeda pula dengan pedagang pengecer, pedagang penampung tidak saja memperdagangkan ikan, akan tetapi juga berbagai jenis dagangan lainnya, seperti pakaian, sabun, minyak, dan barang kebutuhan kesehariaannya lainnya.
Sampai tahun 1870-an, pedagang-pedagang besar dari kelompok pachter seperti ini masih mendominasi aktivitas perdagangan ikan di Jawa. Dengan modal yang mereka miliki dan praktek-praktek usaha yang mereka kembangkan di sektor penangkapan ikan.

Produktivitas Usaha
Sistem pembagian pendapatan dari perahu milik juragan sangat bervariasi, berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya, bahkan bisa berbeda antara satu juragan dengan juragan lainnya, sesuai dengan corak hubungan personal antara pemilik perahu dan nelayan yang mengoperasikan perahu. Pembagian pendapatan ini dari waktu ke waktu dapat juga mengalami perubahan. Meskipun demikian, bisa saja pendapatan mereka perolh selagi perahu belum terbayar lunas, sama besar, atau pendapatan mereka lebih rendah. Secara umum barangkali dapat disebutkan bahwa pendapatan rata-rata seorang nelayan cukup tinggi selama periode-periode diberlakukannya sistem sewa.

Nelayan pada Masa Sistem Sewa :
Stratifikasi Sosial
Susunan masyarakat nelayan baik secara horizzontal maupun vertikal sangat dipengaruhi oleh organisasi penangkapan ikan dan tingkat pendapatan yang mereka capai. Makin strategis posisinya dalam organisasi kerja nelayan dan makin besar pendapatan mereka, makin besar pula kemungkinan mereka menempati posisi yang tinggi dalam stratifikasi sosial, begitu juga sebaliknya.
Secara horizontal, kelompok sosial terkecil masyarakat nelayan Jawa dan Madura terbentuk dalam kesatuan keluarga. Kelompok sosial yang ada adalah kelompok-kelompok sosial yang masing-masing anggotanya terikat ketat satu sama lain berdasarkan pemilikan atas sarana produksi.
Mobilitas vertikal di antara mereka sering juga terjadi. Mobilitas sosial keatas biasanya terjadi di kalangan juragan laut yang tidak memiliki perlengkapan produksi menjadi juragan yang menguasai atau memiliki peralatan produksi. Juragan seperti ini kemudian mendapatkan status sebagai juragan penuh. Sedangkan mobilitas vertikal ke bawah dapatterjadi pula pada nelayan siapapun, juragan yang bangkrut, ataupun nelayan pandega yang kehilangan hak pemilikan atas perahu sebelumnya mereka miliki.
Dengan demikian, masyarakat nelayan secara vertikal mampunyai bentuk susunan yang piramidal. Di puncak adalah kelompok juragan dan famili juragan. Di tengah adalah kelompok pandega dengan familinya, yang merupakan lapisan terbesar yang merupakan kelompok masyarakat nelayan pada umumnya. Di antara juragan terdapat kelompok juragan darat dan juragan laut. Juragan darat adalah pemilik perahu yang tidak ikut melaut. Juragan yang ikut melaut yang terlibat langsung dalam aktivitas penangkapan ikan, baik mereka yang memiliki alat produksi maupun tidak, di sebut juragan laut. Sebagaimana kelompok juragan , kelompok nelayan pandega dapat pula dibedakan menjadi dua kelompok, yakni kelompok nelayan pandega yang mempunyai hak kepemilikan atas perahu dan kelompok pandega yang tidak mempunyai hak pemilikan atas perahu. Kelompok nelayan pandega yang mempunyai hak pemilikan atas perahu menempati posisi sosial ekonomi yang lebih tinggi dari pada kelompok nelayan pandega lainnya.



Kesimpulan
Sektor penangkapan ikan di Jawa dan Maduradalam kurun waktu antara tahun 1850-1880 bisa dikatakan terintegrasi ke dalam sistem ekonomi yang lebih luas, yakni sistem ekonomi yang muncul di daerah-daerah jajahan di Asia pada umumnya yang di kenal sebagai sistem ekonomi sewa. Desentralisasi kesatuan-kesatuan politik yang cukup tajam dan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengumpukan perolehan dari sektor pajak pada masa-masa ini mendorong pemerintah melakukan kompromi, aliansi dengan pihak kedua untuk melakukan penarikan pajak.
Selain itu, sektor penangkapan ikan juga berintegrasi dengan sektor-sektor ekonomi lainnya. Dalam sistem ekonomi sewa, transaksi sewa-menyewa atas sektor tertentu dilakukan secara terbuka dalam sebuah pelelangan yang dapat diikuti oleh setiap orang, yang dilakukan khusus ataupun dilakukan secara bersama-sama dengan pelelangan atas berbagai sektorusaha lainnya.
Peranan kelompok pachter sektor penangkapan ikan sangat dominan. Mereka adalah orang-orang yang mendapatkan hak melakukan penarikan pajak atas usaha penangkapan ikan, atas penjualan ikan di tempat-tempat penjualan ikan, dan mendapatkan hak pembelian garam daripemerintah dengan harga murah setelah membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan pemerintah. Peran mereka ini sungguh mengantarkan mereka kepada bisnis yang lebih luas pada sektor penangkapan ikan. Setidak-tidaknya sejak awal pertengahan kedua abad ke-19 mereka benar-benar telah berhasil membangun jaringan bisnis mereka di sektor ini, dan berhasil mengembangkan sistem kerja yang khusus, katakanlah komersialisasi sektor sewa-menyewa.
Dengan demikian, keterkaitan sekror penangkapan ikan dalam sistem ekonomi sewa tampaknya mendorong sektor tersebut tumbuh dengan lebih cepat. Meskipun usaha penangkapan ikan yang ada masih bercorak lokal dalam arti tekhnologi dan teknik-teknik penangkapan ikan masih berdasarkan pada ketrampilan-ketrampilan yang telah mentradisi dikalangan nelayan setempat, produksi ikan di daerah ini cukup tinggi dan dapat memenuhi kebutuhan ikan penduduk setempat. Import ikan hampir-hampir tidak terjadi di masa ini.







Tidak ada komentar: