BAB III
Masyarakat Nelayan dan Sistem Sewa :
Perkembangan Usaha Perikanan Laut 1850-1880
Usaha penangkapan ikan di Jawa dan
Madura antara tahun 1850-an sampai tahun 1870-an tampaknya mencapai tingkat
perkembangan yang mampu memenuhi kebutuhan ikan sendiri. Penangkapan ikan
sebagai sumber mata pencaharian secara ekonomis juga sangat menguntungkan,
sementara kehidupan sosial ekonomi masyarakat nelayan cukup stabil.
Berkembangnya penangkapanikan laut di Jawa dan Madura dimungkinkan terutama
oleh adanya investasi modal yang cukup dan pemasaran produksi ikan yang lancar.
Modal Patungan dan SistemSewa :
Perkembangan Usaha Penangkapan Ikan Sampai Tahun
1850
Usaha perikanan tampaknya telah
menjadi usaha yang pentin, dan perlu di atur oleh kerajaan, khususnya perikanan
tambak, sehingga dalam undang0-undang Jawa Kuno KoetaraManawa dicantumkan aturan-aturan pertambakan dan hukuman
bagi mereka yang mencuri ikan dari tambak.
Penulis
yang mula-mula memberikan perhatian kepada masalah perikanan di Jawa adalah
Raffles, meskipun tidak banyak mengungkapkan masalah perikanan di Jawa ini. Usaha
penangkapan ikan di pantai utara Jawa pada awal-awal abad ke-19 berkembang
terutama di daerah timur laut Pulau Jawa. Produksi ikan pada masa-masa ini
dihasilkan terutama dari hasil penangkapan ikan lepas pantai. Boomgard
memperkirakan bahwa di Jawa pada tahun1820 terdapat sekitar 35.000 orang
nelayan yang melakukan penangkapan ikan sebagai mata pencaharian utamanya.
Perkembangan
penangkapan ikan di daerah Jawa bagian barat rampaknya memang cukup lambat,
sebagaimana yang tampak pada usaha penangkapan ikan di Banten,Cirebon, Tegal,
dan Semarang.
Semarang,
Tegal, Cirebon, dan Banten semuanya bisa disebutkan terletak di daerah pantau
utara Jawa bagian barat. Apabila perkembangan penangkapan ikan di daerah-daerah
ini merupakan gambaran umum dari usaha penangkapan ikan yang ada di pantai
utara Jawa dalam periode tahun 1800 sampai tahun 1850-an masih memusat terutama
di wilayah pantai utara Jawa bagian timur.
Usaha
penangkapan ikan merupakan usaha yang padat modal. Makin besar modal usaha yang
ditanamkan berarti makin besar pula kemungkinan suatu usaha akan berkembang,
demikian pula sebaliknya. Dalam periode-periode sampai tahun 1850-an, terdapat
setidak-tidaknya dua jenis modal usaha yang paling menonjol dalam sektor
penangkapan ikan, yakni modal usaha patungan dan modal pinjaman. Modal yang
berasal dari kredit pemerintahan boleh dikatakan belom ada. Modal patungan
adalah modal usaha yang diperoleh dengan kerja sama antara nelayan, dan ini
mungkin merupakan alternatif pertama dalam mengatasi kekurangan modal.
Sedangkan modal pinjaman adalah modal usaha yang berasal dari orang-prang kaya
setempat, atau dari patcher-patcher Cina.
Dalam
sistem patungan, para nelayan biasanya membentuk kelompok kerja yang saling
melengkapi dan hasil penangkapan ikannya di bagi menjadi beberapa bagian orang
yang terlibat dalam usaha modal penangkapan ikan.
Sistem
pembagian hasil berlaku pula di kalangan nelayan yang bekerja dengan modal
pinjaman, yakni dengan memberikan hasil tangkapannya kepada yang dimintai modal
tersebut.
Selambat-lambatnya
sejak awal abad ke-19, Pemerintahan Hindia Belanda menerapkan sistem sewa di
sektor penangkapan ikan di pantai utara Jawa dan Madura. Desentralisasi
kesatuan-kesatuan politik yang cukup tajam dan terbatasnya kemampuan pemerintah
dalam mengumpulkan perolehan dari sektor perpajakan pada masa-masa ini mendorong
pemerintah melakukan kompromi, aliansi dengan puhak kedua terutama golongan
Cina yang secara sosial-ekonomis mempunyai kedudukan yang kuat. Tidak saja
sektor penangkapan ikan, sistem sewa ini diterapkan pula disektor-sektor usaha
lainnya.
Dalam
Indische Begrooting ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan Verpachtingen sektor
penangkapan ikan meliputi dua hal penting, yakni Vischmarkten dan Visscherijen
en het regt om vischnetten te stellen. Dalam ketentuan ini, perikanana tambak
dikelompokkan ke dalam Landelijke Inkomsten en Kultures. Pemisahan ini terjadi
barangkali karena sifat usaha tambak itu sendiri, yang lebih banyak berkaitan dengan
masalah pertanahan.
Sistem
sewa diterapkan tidak saja pada usaha penangkapan ikan, tetapi juga diterapkan
pada usaha perikanan lainnya, seperti pada usaha pencarian tripang dan kerang
mutiara.transaksi sewa-menyewa dilakukan melalui lelang terbuka, pelanggan
semacam ini biasanya dilakukan di pemerintahan tingkat Residensi, di pendopo
kabupaten di pusat karesidenan. Tawaran yang diajukan merupakan jumlah
pembayaran untuk mendapatkan hak melakukan penarikan pajak penjualan dan
penangkapan ikan di suatu daerah tertentu selama waktu yang telah ditetapkan.
Seorangpatcher
dalam melakukan peranannya, patcher dapat juga menyewakan daerah wewenangnya
atau sebagian darinya kepada patcher-patcher lainnya, dan mereka ini sekali
lagi menyewakan bagian-bagian yang lebih kecil kepada patcher lainnya secara
bulanan, atau tahunan, sebagaimana yangterjadi pada penjualan opium.
Dalampenjualan opium, penyewaan wilayah pemasaran opium biasanya meliputi
wilayah residensi. Sebagai suatu unit penjualan opium. Hubungan antara penyewa
dan sub penyewa seperti halnya hubungan penyewa dengan pemerintah, dengan
kewajiban-kewajibannya masing-masing yang dikukuhkan dengan akte notaris.
Komersialisasi
Sistem sewa
Sektor
Penangkapan Ikan
Menjelang
akhir paruh pertama dan awal paruh kedua abad ke-19, sistem sewa yang
diterapkan oleh pemerintah Hindia Belanda di berbagai sektor dampaknya telah
menyebabkan terjadinya penumpukan modal pada kelompok patcher. Mereka telah
menjadi kaya dan pengaruhnya makin bertambah besar. Mereka telah memiliki modal
untuk meraih sukses si sektor sewa-menyewa, maupun usaha-usaha lainnya.
Hanya
saja, dalam sistem kapitalisme merkanyilis yang dijalankan oleh pemerintah
sejak periode runtuhnya VOC kurang memberi kesempatan yang cukup bagi swasta
untuk mengembangkan usahanya di berbagai sektor penting. Sistem tanam paksa
adalah wujud dari bentuk eksploitasi yang dilakukan oleh pemerintah tersebut.
Kebijaksanaan politik yang menganut pola eksploitasi melalui penyerahan paksa
pada masa-masa ini memang di pandang yang paling cocok pengelolaan Indonesia
sbagai daerah wingewst, daerah yang
harus memberikan keuntungan bagi negara induk. Dalam konteks seperti ini,
sektor penangkapan ikan sebagai sektor pinggiran yan kurang mendapat perhatian
pemerintah, menjadi aktraktif bagi pihak-pihak swasta tertentu untuk menanamkan
modalnya.
Sebagai
bagian dari sistem sewa pada umumnya, para pachter di sektor penangkapan ikan
pada masa-masa ini telah mampu mengembangkan usahanya. Transaksi jual-beli
terjadi tidak dengan nelayan perorangan, akan tetapi dengan nelayan sebagai
kelompok, yang terikat dalam satu kesatuan kerja yang meliputi juragan dengan
pandega perahu.
Peranan
pachter sebagai penarik pajak pada tingkatan ini tidak dapat lagi dipisahkan
dari peranannya sebagai penyedia modal dan pedagang penampung. Ketentuan
pembayaran pajak sebesar1/10 dari hasil tangkapan sebagaimana yang ditetapkan
oleh penguasa tidak lagi menjadi batasan. Dengan bisnis yang mereka kembangkan
dalam bentuk sewa menyewa tersebut, para nelayan peminjam modal umumnya
menanggung beban lebih besar dari ketentuan itu. Belakangan, praktek-praktek
yang mereka kembangkan ini dipandang oleh pemerintah sebagai sistem pemerasan
keringat. Sementara terhadap nelayan yang tidak terikat hutangnya, para pachter
tetap berperan sebagai yang memegang kewenangan melakukan penarikan pajak
sebagaimana yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Pada
umumnya para nelayan harus menyerahkan separo dari hasil ikan yang diperoleh,
sebagai keharusan untuk para pembeli modal. Penyerahan sebanyak ini terus
berlangsung selama perahu tersebut belum terbayar lunas. Nelayan yang
bersangkutan juga harus membayar separo lainnya kepada pemberi modal,dan
menyerahkan 1/3 darinya untuk pembayaran perahu yang mereka terima.
Pachter
di sektor penangkapan ikan laut hampir semuanya terdiri dari orang-orang Cina.
Mereka pada umumnya pedagang-pedagang kaya, mempunyai hubungan dagang dengan
daerah-daerah pedalaman, dan sebagian dari mereka juga sekaligus sebagai
pemegang hak sewa atas penjualan opium.
Pachter
menjadi pusat dari jaringan perdagangan ikan yang terjadi, dan sekaligus
berperan penting sebagai penampung hasil tangkapan ikan dari nelayan. Tidak
hanya itu, para pachter juga menguasai industri pengasinan dan pengeringan
ikan. Hak istemewa yang mereka miliki dalam pembelian garam bahan pengawet ikan
dengan harga yang murah dari pemerintah sebagaimana memungkinkan mereka untuk
mengembangkan industri pengolahan ikan.
Sampai
tahun 1870-an, industri-industri pengasinan milik pachter dapat ditemukan di
semua pusat pendaratan ikan di sepanjang pantai utara Jawa dan Madura. Tidak
ada saingan yang berarti dalam perdagangan ini dan para pachter menguasai
sepenuhnya harga pasar.
Lain
halnya dengan di luar Jawa , meskipun pada tempat-tempat tertentu sistem sewa
untuk sektor penangkapan ikan juga diterapkan, peranan pachter tidaklah begitu
tampak. Keuntungan yang diperoleh mereka tidak seberapa, dan dengan sendirinya
mereka tidak terdorong untuk mengembangkan usahanya. Di daerah luar Jawa,
penguasa-penguasa setempat biasanya mempunyai peranan penting dalam penyediaan
modal untuk sektor penangkapan ikan.
Singkat
kata, perkembangan usaha penangkapan ikan setelah tahun 1850 tampaknya memang
sulit dilepaskan dari keberadaan sistem sewa. Peranan pachter sangat penting,
tidak saja sebagai penarik pajak usaha penangkapan ikan, tetapi juga sebagai
penyedia modal bagi nelayan pada umumnya dan sebagai pusat penyaluran dan
pengolahan ikan hasil tangkapan. Pada saat ini, usaha penangkapan ikan laut,
khususnya penangkapan ikan lepas pantai, dapat tumbuh dengan baik dengan jumlah
armada mayang yang terus meningkat. Meskipun para pachter berusaha untuk
mendapatkan keuntungan yang sebanyak-banyaknya, namun tampaknya para nelayan
masih juga diuntungkan. Selain itu, para pachter menanggung resiko bila terjadi
kecelakaan atas perahu yang mereka salurkan kepada nelayan yang belum terbayar
lunas, seperti tenggelam atau terbawa arus.
Perdagangan Ikan
: Bakulan dan
Pedagang
Penampung.
Di
lingkungan Pulau Jawa, setidak-tidaknya terdapat dua corak aktivitas pedagang
pengecer atau pedagang bakulan dan perdagangan ikan yang berpusat pada pedagang
penampung.
Pedagang
pengecer biasanya didominasi oleh pedagang-pedagang ikan penduduk setempat,
sementara pedagang penampung atau pedagang besar didominasi oleh
pachter-pachter Cina. Pada umumnya, pedagang pengecer semata-mata
memperdagangkan ikan, terutama ikan segar. Selain itu mereka juga
memperdagangkan ikan olahan.
Pedagang
pengecer membeli ikan terutama ikan hasil penangkapan dekat pantai, yang
digasilkan oleh nelayan-nelayan yang melakukan penangkapan ikan dengan
perahu-perahu kecil milik sendiri. Mereka juga menampung sebagian hasil
tangkapan nelayan-nelayan lepas pantai yang tidak terikat hutang dengan
pachter. Sistem transaksi yang berlaku antara mereka dan para nelayan pada
umumnya sistem ngalap nyaur. Dalam
sistem ini posisi pedagang atau bakul ikan sangat dominan. Bakul ikan dapat
membawa ikan tanpa membayar terlebih dahulu kepada nelayan.baru setelah ikan
terjual, pembayaran ikan baru dilakukan.
Pedagan
pengecer yang memperdagangkan ikan dalam jumlah yang cukup banyak biasanya
selain menjualnya langsung secara eceran dengan pembayaran kontan, juga
menjualnya kepada sub-sub pengecer dengan secara kredit. Sub pengecer
menanggung resiko kerugian, bila ia tidak dapat menjual ikan dagangannya atau
menjualnya dengan harga yang lebih rendah dari harga pembelian. Sementara
pedagang pengecer menanggung resiko bila sub pengecer tidak membayar ikan yang
berhasil dijualnya
Berbeda
dengan pedagang-pedagan pengecer yang jangkauannya terbatas di daerah-daerah
sekitar pantai, pedagang-pedagang penampung atau pedagang besar dapat
menjangkau daerah pemasaran lebih luas. Mereka umumnya menampung dan membeli
ikan-ikan tangkapan nelayan lepas pantai ataupun nelayan dekat pantai, baik
neleayan yang tidak ataupun yang terikat hutang kepada mereka. Berbeda pula
dengan pedagang pengecer, pedagang penampung tidak saja memperdagangkan ikan,
akan tetapi juga berbagai jenis dagangan lainnya, seperti pakaian, sabun,
minyak, dan barang kebutuhan kesehariaannya lainnya.
Sampai
tahun 1870-an, pedagang-pedagang besar dari kelompok pachter seperti ini masih
mendominasi aktivitas perdagangan ikan di Jawa. Dengan modal yang mereka miliki
dan praktek-praktek usaha yang mereka kembangkan di sektor penangkapan ikan.
Produktivitas
Usaha
Sistem
pembagian pendapatan dari perahu milik juragan sangat bervariasi, berbeda
antara satu daerah dengan daerah lainnya, bahkan bisa berbeda antara satu
juragan dengan juragan lainnya, sesuai dengan corak hubungan personal antara
pemilik perahu dan nelayan yang mengoperasikan perahu. Pembagian pendapatan ini
dari waktu ke waktu dapat juga mengalami perubahan. Meskipun demikian, bisa
saja pendapatan mereka perolh selagi perahu belum terbayar lunas, sama besar, atau
pendapatan mereka lebih rendah. Secara umum barangkali dapat disebutkan bahwa
pendapatan rata-rata seorang nelayan cukup tinggi selama periode-periode
diberlakukannya sistem sewa.
Nelayan pada
Masa Sistem Sewa :
Stratifikasi
Sosial
Susunan
masyarakat nelayan baik secara horizzontal maupun vertikal sangat dipengaruhi
oleh organisasi penangkapan ikan dan tingkat pendapatan yang mereka capai.
Makin strategis posisinya dalam organisasi kerja nelayan dan makin besar
pendapatan mereka, makin besar pula kemungkinan mereka menempati posisi yang
tinggi dalam stratifikasi sosial, begitu juga sebaliknya.
Secara
horizontal, kelompok sosial terkecil masyarakat nelayan Jawa dan Madura
terbentuk dalam kesatuan keluarga. Kelompok sosial yang ada adalah
kelompok-kelompok sosial yang masing-masing anggotanya terikat ketat satu sama
lain berdasarkan pemilikan atas sarana produksi.
Mobilitas
vertikal di antara mereka sering juga terjadi. Mobilitas sosial keatas biasanya
terjadi di kalangan juragan laut yang tidak memiliki perlengkapan produksi
menjadi juragan yang menguasai atau memiliki peralatan produksi. Juragan
seperti ini kemudian mendapatkan status sebagai juragan penuh. Sedangkan
mobilitas vertikal ke bawah dapatterjadi pula pada nelayan siapapun, juragan
yang bangkrut, ataupun nelayan pandega yang kehilangan hak pemilikan atas
perahu sebelumnya mereka miliki.
Dengan
demikian, masyarakat nelayan secara vertikal mampunyai bentuk susunan yang
piramidal. Di puncak adalah kelompok juragan dan famili juragan. Di tengah
adalah kelompok pandega dengan familinya, yang merupakan lapisan terbesar yang
merupakan kelompok masyarakat nelayan pada umumnya. Di antara juragan terdapat
kelompok juragan darat dan juragan laut. Juragan darat adalah pemilik perahu
yang tidak ikut melaut. Juragan yang ikut melaut yang terlibat langsung dalam
aktivitas penangkapan ikan, baik mereka yang memiliki alat produksi maupun
tidak, di sebut juragan laut. Sebagaimana kelompok juragan , kelompok nelayan
pandega dapat pula dibedakan menjadi dua kelompok, yakni kelompok nelayan
pandega yang mempunyai hak kepemilikan atas perahu dan kelompok pandega yang
tidak mempunyai hak pemilikan atas perahu. Kelompok nelayan pandega yang
mempunyai hak pemilikan atas perahu menempati posisi sosial ekonomi yang lebih
tinggi dari pada kelompok nelayan pandega lainnya.
Kesimpulan
Sektor
penangkapan ikan di Jawa dan Maduradalam kurun waktu antara tahun 1850-1880
bisa dikatakan terintegrasi ke dalam sistem ekonomi yang lebih luas, yakni
sistem ekonomi yang muncul di daerah-daerah jajahan di Asia pada umumnya yang
di kenal sebagai sistem ekonomi sewa. Desentralisasi kesatuan-kesatuan politik
yang cukup tajam dan terbatasnya kemampuan pemerintah dalam mengumpukan
perolehan dari sektor pajak pada masa-masa ini mendorong pemerintah melakukan
kompromi, aliansi dengan pihak kedua untuk melakukan penarikan pajak.
Selain
itu, sektor penangkapan ikan juga berintegrasi dengan sektor-sektor ekonomi
lainnya. Dalam sistem ekonomi sewa, transaksi sewa-menyewa atas sektor tertentu
dilakukan secara terbuka dalam sebuah pelelangan yang dapat diikuti oleh setiap
orang, yang dilakukan khusus ataupun dilakukan secara bersama-sama dengan
pelelangan atas berbagai sektorusaha lainnya.
Peranan
kelompok pachter sektor penangkapan ikan sangat dominan. Mereka adalah
orang-orang yang mendapatkan hak melakukan penarikan pajak atas usaha
penangkapan ikan, atas penjualan ikan di tempat-tempat penjualan ikan, dan
mendapatkan hak pembelian garam daripemerintah dengan harga murah setelah
membayar sejumlah uang yang telah ditetapkan pemerintah. Peran mereka ini
sungguh mengantarkan mereka kepada bisnis yang lebih luas pada sektor
penangkapan ikan. Setidak-tidaknya sejak awal pertengahan kedua abad ke-19
mereka benar-benar telah berhasil membangun jaringan bisnis mereka di sektor
ini, dan berhasil mengembangkan sistem kerja yang khusus, katakanlah
komersialisasi sektor sewa-menyewa.
Dengan
demikian, keterkaitan sekror penangkapan ikan dalam sistem ekonomi sewa
tampaknya mendorong sektor tersebut tumbuh dengan lebih cepat. Meskipun usaha
penangkapan ikan yang ada masih bercorak lokal dalam arti tekhnologi dan
teknik-teknik penangkapan ikan masih berdasarkan pada ketrampilan-ketrampilan
yang telah mentradisi dikalangan nelayan setempat, produksi ikan di daerah ini
cukup tinggi dan dapat memenuhi kebutuhan ikan penduduk setempat. Import ikan
hampir-hampir tidak terjadi di masa ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar