PENGHORMATAN MASYARAKAT TUBAN KEPADA RANGGALAWE
“MAKAM ISLAM RANGGALAWE”
Rumusan Masalah
: Pemberontakan Ranggalawe terhadap Majapahit.
Andreas
Pramusinta
Abstrak
Ranggalawe
adalah Bupati Tuban. Cerita dan Mitos tentang Ranggalawe banyak kontroversial
dan versinya. Peranan Ranggalawe pun begitu besar pada awal Majapahit, dari
pembabatan Hutan Tarik, dan pengusiran tentara Tar-tar dari bumi jawa. Oleh
karena itu Ranggalawe di tempatkan di Tuban. Ranggalwe memprotes terhadap Raja,
akan pengangkatan Nambi sebagai patih tertinggi. Bagi Ranggalawe Nambi tidaklah
tepat jika menduduki posisi tertinggi sebagai patih, karena Jasanya tidaklah
begitu besar bagi kerajaan, akan tetapi protes tersebuttidak dihiraukan oleh
Raja.
Pemberontakan Ranggalawe
Awal
mula pemberontakan Ranggalawe, dikarenakan ketidakpuasan Ranggalawe atas
pemberian jabatan terhadap Nambi. Ranggalawe menganggap gelar jabatan tersebut
tidak layak diberikan kepada Nambi, karena Peranan Nambi pada awal mendirikan
Majapahit tidaklah banyak berperan[1].
Sebelum
membahas tentang Pemberontakan dan Terbunuhnya Rangalawe, marilah sejenak saya
akan membahas masalah awal-awal sebelum pendirian Majapahit dan peranan
Ranggalawe pada awal pembabatan Hutan Tarik dan Pengusiran Pasukan Tar-tar dari
daha[2].
Dewasa
ini, masyarakat Tuban sampai saat ini Tak pernah luput dari kisah Legenda
Ranggalawe. Legenda tersebut begitu kental dan mensejarah, sehingga sedikit
mewarnai pembentukan suatu nilai dan sosial bagi masyarakat Tuban. Terdapat
banyak versi mengenai kisah Legenda Ranggalawe tersebut, antara lain:
1. Langendriyo
Pejahipun Ranggalawe, yang dikisahkan sebagai Lakon pewayangan. Sebagaimana
Ranggalawe gugur melawan raja Blambangan, yaitu Menak Jinggo. Diceritakan,
bahwa sewaktu Prabu Brawijaya II mangkat, maka beliau hanya mempunyai seorang
keturunan ialah Dewi Kencono Wungu. Sang dewi menggantikan tahta kerajaan
bergelar “Sri Raja Majapahit”[3].
Pada waktu Sri Baginda memerintah, di daerah Blambangan sebuah negara bagian
dari Majapahit timbul suatu pemberontakan yang dikemudikan oleh seorang bernama
Menakjinggo. Guna menggalang kekuatan untuk menghadapi Majapahit, Menakjinggo
memperluas daerahnya dengan menaklukkan kadipaten-kadipaten kecil disekitarnya;
ia kemudian menamakan diri “Prabu Huru Bismo”[4]
dan menyatakan lepas dari kekuasaan Majapahit. Yakin akan kejayaan dirinya,
karena mempunyai senjata bertuah berupa “Gada Besi Kuning”[5],
ia bersimaharajalela sesuka hatinya di atas sekelumit daerah kekuasaan
Majaphit. Ia tidak sudi lagi bersujud kehadapan Sri Ratu. Ditegaskan pula
melamar Ratu Ayu, serta mengancam akan meyerbu Majapahit jika lamarannya
ditolak[6].
Sri
Ratu merasa amat tersinggung kekuasaan, kehormatan, serta perasaannya. Segera
dikirimkannya seorang utusan bernama Raden Layang Seto putra patih Logender
guna menghadap Adipati Ronggolawe di Tuban disertai sebuah titah : Menindas
pemberontakan serta mengembalikkan kekuasaan Majaphit di seluruh Blambangan.
Adipati
Ronggolawe, paman Sri Ratu seterimanya perintah segera mengumpulkan
pasukan-pasukannya yang terpilih dan keesokkan harinya bertolak menuju
Blambangan dengan diikuti oleh bala tentaranya, demikian pula di Blambangan,
Menakjinggo juga mempersiapkan pasukannya. Mabuk oleh kemenangan, maka
kesatuan-kesatuan Blambangan
beramai-ramai kembali keibukotanya. Pertempuran yang sengitpun terjadi, antara
Adipati Tuban, Ronggolawe berhadapan langsung dengan Menakjinggo. Pertempuran
anatara keduanya sangatlah sengit, serangan dari Urubesma atau Menakjinggo yang
ditujukan kepada Ronggolawe bertubi-tubi, akan tetapi serangannya tidaklah
mempan di tubuh Ronggolawe, melainkan Menakjinggo yang sering terpental oleh
serangan balasan dari Ronggolawe.
Kemarahan Menakjinggo semakin menjadi-jadi, akan tetapi hilang pula
keeberaniannya untuk berhadapan langsung dengan Ronggolawe. Lalu Urubesma
memberiperintah supaya Adipati Tuban itu dihujani meriam, panah, pelempar,
seligi dari jauh saja. Senjata-senjata itu berseluncur bagaikan hujan[7].
Dalam
pada itu Adipati Ronggolawe yang diiringkan oleh seorang abdi pembawa payung
agung bernama Wangsapati tetap berdiri teguh di medan perang. Senjata yang
,meluncur deras dan bertubi-tubi tidak ada yang melukainya. Akan tetapi pada
suatu saat perut Wangsapati terkena peluru meriam sehingga Ia jatuh pingsan.
Wangsapati segera di tolong oleh Sang Adipati dan dapat Pulih kembali
kekuatannya. Namun pada saat yang lain sumping di telinga Sang Aadipati terkena
peluru dan terjatuh. Hal itu membuat hati Adipati Ronggolawe tergetar. Terlebih
ketika gagang payungnya juga patah terkena tembakan. Adipati Ronggolawe sadar
bahwa ajalnya telah dekat, Ia menyuruh Wangsapati agar pulang ke Tuban dan
menyampaikan berita, bahwa Adipati dan pasukannya telah Tewas dalam peperangan[8].
(Kisah Damarwulan).
2. Versi
lain yang menyebutkan tentang Ranggalawe, terdapat pada Buku pararaton pada
tahun 1613. Mengawali sejarah Tuban yang tidak dapat dipisahkan dari nama
Ranggalawe, patut di catat adanya pemukiman permukiman di bukit Kalakwilis di
dekat Jenu Tuban yang kemudian diberinya nama : Lumajang Tengah oleh
pendirinya, yaitu Batara Norowiko yang juga di kenal sebagai Haryo Randukuning
atau Kyai Ageng Lebehlontang. Pada masa kekuasaan putranya Haryo Bangah.
Daerah
tersebut rusak karena banyak yang mati, maka pemukiman dipindahkan lebih ke
selatan, yaitu ke Gumeng (Gumenggeng), di mana Haryo Dandang Miring masih
bertahan. Namun setelah wafat, maka putranya bernama Haryo Dandang Wacono
memindahkan pemukiman ke arah utara lagi, yaitu di dekat Semanding; hasil
pembukaan Hutan Bambu yang berdekatan dengan sumber-sumber air tersebut di beri
nama Tuban, Artinya: ‘metu banyu’ = keluar air[9].
Di
situ pulalah dibangun tempat kebaktian, sekarang di kenal dengan : mbekti.
Karena itu pendiri pemukiman ini kemudian terkenal dengan Kyai Ageng Papringan
yang setelah wafat kemudian dimakamkan di Prunggahan Wetan . beliau mempunyai
dua orang istri, yaitu Nyai Ageng Lanangjoyo dan Nyai Ageng Ngeso[10].
a. Nyai
Ageng Lanang joyo kawin dengan Haryo Suseno dan melahirkan Haryo panular; ia
berputra Haryo Ronggolawe.
b. Nyai
Ageng Ngeso berputra Haryo Kebo Anabrang.
3. Dalam
sejarah dalam sejarah atau Babad Hindu Jawa Kuno, nama Ranggalawe pertama kali
di sebut pada zaman runtuhnya kerajaan Singosari sekitar tahun 1280-an Masehi.
Pada saat itu Singosari diperintah Kertanegara, keturunan dari Ken Arok,
pendiri kerajaan Singosari. Termashur cerdas, cakap, bijaksana, dan telah
membawa Singosari ke zaman keemasannya. Di samping itu ia pula seorang yang
sangat berambisi dalam segala sesuatu. Terbukti setelah ia memegang kekuasaan
tunggal atas seluruh wilayah Jawa Timur dan sekitarnya, mendadak memutuskan
hubungan dengan Tiongkok yang dianggapnya terlampau banyak mengurusi
kedaulatannya. Sadar akan akibatnya ia kemudian menyiapkan seluruh negeri untuk
menghadapi kemungkinan serangan dari Tiongkok.
Mungkin
Kertanegara adalah Raja pertama yang mempunyai konsep strategi pertahanan
Nusantara atas dasar wawasan Nusantara[11].
Selruh armada tempurnya dimuati satuan-satuan lasykar yang terbaik dan
terpilih, kemudian ia gerakan menutup jalan-jalan laut yang merupakan pintu
gerbang samudra Nusantara dari arah utara, yakni Selat Karimata dan Selat
Sulawesi. Akibatnya kekuatan besar itu hanya tertinggal kesatuan cadangan yang
jumlahnya kecil yang bertugas di ibukota kerajaan.
Keadaan itu dimanfaatkan oleh raja Jayakatwang
(Batara Katong) musuh Kertanegara dari Kediri. Dengan diam-diam ia menyerang
Singosari.
Mabok
akan kejayaan, maka Kertanegara lengah dan akhirnya Singosari jatuh, ia sendiri
terbunuh di bawah puing-puing istananya[12].
Di
saat itulah nama Ranggalawe muncul dalam Babad. Ranggalawe, Sora dan Nambi
adalah prajurit-prajurit istana, usia masih muda belia, merupakan tiga
serangkai yang dengan gagah menghadapi lasykar Kediri[13].
Mereka terdesak, kemudian undur dan dapat menyelamatkan Raden Wijaya, anak
menantu Kertangara. Bersama Istrinya Gayatri putri dari Kertanegara,
dibawanyalah mereka mengungsi menuju utara.
Dikisahkan,
bahwa dalam pelarian dengan rombongan kecil itu mereka ‘ngayam-alas’ artinya
karena disebabkan takut terkejar, mereka menempuh jalan hutan yang bukan
semestinya dilalui manusia. Rombongan kehilangan segala-galanya tidak membawa
bekal makan dan minum, serta alat-peralatan sehari-hari yang diperlukan.
Tanpa
tujuan yang pasti, Raden Wijaya menyebrang ke laut dan mendarat di Pulau
Madurauntuk meminta bantuan perlindungan keamanankepada Bupati Madura yaitu
Arya Wiraraja, yang tidak lain paman dari Raden Wijaya. Di Madura Raden Wijaya
dan Arya Wiraraja berunding dan menyusun rencana untuk melawan Jayakatwang dan
mengusirnya dari Jawa[14].
Rombongan di sana diterima dengan baik, bahkan sang Bupati menjanjikan jasa
baik, yakni Raden Wijaya dimintakan pengampunan raja atas jaminannya.
Intinya
adalah “Kepada orang tua jangan dilupakan bila kelak kembali memegang tampuk
pemerintahan di Kerajaan”. Raden Wijaya dihadapkan raja Jayakatong[15]
Kediri dengan jaminan Arya Wiraraja. Ia dan rombongan pengikutnya segera di
beri pengampunan dengan syarat harus menunjukkan bukti setianya.
Setelah
melewati beberapa waktu yang dipandang cukup lama menjadi kawula dekat,
mengabdi tanpa cacat kepada raja, maka Raden Wijaya bersama tiga serangkai
mulai menjalankan siasat sebagai bagian dari tujuan besar, yakni merebut
kembali kekuasaan dan melestarikan dinasti leluhurnya, Ken Arok dan sekaligus
membalas kematian ayah mertuanya[16].
Pertama-tama
Raden Wijaya memohon sih anugrah Raja agar diberi sebidang tanah mardikan. Di
mana ia atas nama Raja dapat melaksanakan perintah Swarapaja.
Permohonan
itu dikabulkan, karena sikap yang dilakukan Raden Wijaya erhadap Raja
Jayakatwang sangatlah baik, sehingga Raja senang terhadap Raden Wijaya, dan ia
memilih “Bumi Terik”. Setelah pindah di Terik dengan cepat dan rahasia kekuatan disusun: di
samping itu kepada Ronggolawe diberikan tugas untuk menyiagakan kekuatan secara
diam-diam di Tuban.
Segar
dalam ingatan, belajar strategi dari mendiang ayah mertuanya, maka Raden wijaya
yakin Tiongkok pasti akan mengirim armada perangnya untuk menyerang dan
menghukum mendiang mertuanya. Tuban adalah bandar besar di pantai utara,
demikian juga Terik[17].
Pada waktu itu jungjung besarmampu menyusuri kali Brantas dan berlabuh di
Terik. Dua tempat tersebut adalah yang pertama-tama harus dikuasai. Raden
Wijaya harus menjadi orang pertama yang akan menyambut para laksamana dan
panglima Tiongkok yang akan datang mendarat.
Ternyata
apa yang telah direncanakan Raden Wijaya tepat, selang beberapa tahun kemudian
tentara dari Tiongkok datang, dan kemudian di Jamu di Tuban. Ranggalawe menjadi
dengan mengajak semua tentara untuk minum Toak dan melakukan pesta. Setelah
tahu bahwa pasukan Tiongkok sudah mabuk berat akan toak, maka Ranggalawe dan
pasukannya secara tiba-tiba menyerang pasukan Tiongkok. Pasukan Tiongkok yang
mabuk berat tidak menyadari akan hal tersebut dan tidak siap dalam berperang,
maka banyak yang mati dan kabur tentara Tiongkok tersebut dari Tuban.
Konon,
menurut hikayat para panglima armada dan laskar yang berhasil kembali dijatuhi
hukuman mati oleh kaisar, sebab dianggap gagal melakukan misi ekspedisi[18].
Kini
terbukalah peluang lebar bagi Raden Wijaya untuk mendirikan negara serta
meneruskan kekuasaan dinastinya, yakni kerajaan yang didirikan Ken Arok.
Dipilihlah tempat ibukota, yakni Trowulan, sedangkan negaranya bernama
Majapahit dan dinobatkanlah Raden Wijaya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung
Harsa Wijaya, penobatannya itu pada tanggal 15 bukan Kartika (ri purneng kartikamāsa pan͞casadasi)
tahun 1215 Saka (12 November 1293)[19].
Gelar kebesarannya di dalam Serat ranggalawe adalah Panji wijaya[20],
dan di sumber lainnya nama gelar penobatannya adalah Srī Kěrtarājasa
Jayawarddhana[21].
Betapa
besar jasa tiga orang prajurit sebagai pelopor dan pendirian Majapahit.
Atas jasa-jasanya itu mereka diangkat
oleh raja menduduki jabatan-jabatan penting.
Nambi menjabat kedudukan panglima angkatan perang paling tinggi
Majapahit. Selain itu di luar struktur mereka adalah nayaka-nayakapraja yang di
anggap dan paling dipercayai ; dalam memperbincangkan masalah-masalah negeri
yang gawat mereka diikutkan dalam pembicaraan.
Berpegang
pada tiga versi di atas dan mengingat akan jiwa daripadanya, maka terlihatlah
jelas bagaimana peranan Ranggalawwe pada awal pendirian Majapahit. Hak yang
dituntut oleh Ranggalawe tidaklah salah, karena peran-peran pada awal itu
begitu besarnya.
Kembali
dalam maksud permasalahan tentang pemberontaka Ranggalawe akan saya jelaskan di
sini.
Ranggalawe
adalah sahabat seperjuangan Nararrya Sanggrama Wijaya. Dia berdarah Madura dan
sangat besarjasanya dalam proses pendirian Majapahit.
Awal mula
pemberontakan Ranggalawe karena ketidakpuasan Ronggolawe atas keputusan Raden
Wijaya yang mengangkat Dyah Nambi sebagai Rakryan mahapatih Sanagara atau Patih
Amangkubumi, yang pada masa perjuangan tidak begitu terlihat andilnya. Dan
menurut Ranggalawe, yang lebih pantas mendapati jabatan tersebut ialah Lembu
Sora atau dirinya yang menganggap lebih banyak jasanya terhadap Majapahit saat
awal berdirinya Majapahit[22].
Ranggalawe sendiri malahan ditempatkan di daerah luar istana, Dia menjabat
adipati Tuban. Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari
menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan
Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi
sebagai patih. Raden
Wijaya sebagai seorang raja besar hanya berdiri terdiam seribu bahasa
menyaksikan sahabat-sahabatnya saling protes memperebutkan persoalan
pembagian jabatan dan kue ekonomi yang tidak merata. Arya Rongggolawe yang
diangkat sebagai Adipati mancanegara di Tuban menjadi emosi dan
melakukan keributan dengan menghancurkan taman dan hiasan kraton. Kemudian
Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya
sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke
Tuban. Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa
Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi
berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang
untuk menghukum Ranggalawe. Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera
menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak
Beras[23].
Perang pun terjadi di sana. Seru dan
riuh pertempuran itu terjadi. Barisan Majapahit di pimpin oleh Nambi. Dalam
sekejab Nambi banyak kehilangan orang-orangnya.
Kedua belah
pihak akhirnya banyak kehilangan prajuritnya. Bagi yang menyerah segera
diampuni. Perang kemudian berhenti setelah matahari tenggelam. Barisan
Majapahit terus menyeberang ke arah barat. Mereka bersorak sorai dengan
diiringi tetabuhan. Mereka menganggap kemenangan ada di Pihaknya, karena dalam
pertempuran tadi telah terbunuhnya Sidi[24],
panglima dari Tuban. Angan mereka berkata, dalam sekejap tentu segera bisa
meremukkan kota Tuban. Mereka lalu mendirikan markas darurat dan beristirahat,
untuk menyongsong perang yang akan terjadi esok harinya. Adapun kematian Sidi
segera dilaporkan kepada Adipati Ranggalawe.
Di depan anak
buahnya, Ranggalawe memberi penjelasan tentang siasat untuk mengepung Nambi
yang congkak dan sombong itu. Setelah memberikan penjelesan tersebut,
Ranggalawe berangkat meninggalkan Tuban.
Di tengah
jalan mereka segera berjumpa dengan barisan Nambi. Perang terjadi serempak.
Riuh dan ramai, saling menubruk, saling mendesak dan bercampur aduk. Dalam
sekejap korban berjatuhan bersusun-susun. Mantri, Rangga, dan Pejabat tinggi
yang lain banyak yang tewas berjatuhan. Akhirnya barisan Majapahit dalam
keadaan terdesak, Prajuritnya bercerai-berai.
Patih Nambi
yang kehilangan anak buah serta prajuritnya. Segera berlari mundur dengan
sisa-sisa barisan yang ada. Tapi terus di kejar oleh barisan Tuban. Dan Siapa
saja yang tertangkap segera di bunuh tak ampun lagi. Patih Nambi segera
terbirit-birit dengan hati ketakutan penuh khawatir.
Di istananya
Raden Wijaya sedang mengadakan sidang paripurna. Yang menjadi pembicaraan
adalah masalah perang yang sedang terjadi antara Majapahit dan Tuban. Karena
khawatir kalau Ranggalawe datang sewaktu-waktu, maka sebagian besar dari
hadirin selengkapnya mengenakan senjata. Ketika dalam persidangan tiba-tiba
datang prajurit Majapahit dan memohon ampun kepada Raja. Prajurit tersebut
melaporkan bahwasanya barisan Majaphit terdesak dan lari mundur termasuk Patih
Nambi. Mendengar laporan tersebut raja menjadi marah, karena patih Nambi ikut
kabur. Akhirnya Raja mengumpulkan barisan kembali untuk menyerbu pasukan dari
Tuban dan ingin menumpas Negeri Tuban.
Seperti
prahara, gemuruh suara tetabuhan yang mengiringi barisan Majapahit berangkat
menuju medan perang. Yang menjadi panglima adalah orang-orang perwira yang
tidak diragukan lagi keberaniaannya.
Saat itu
barisan Tuban sedang bersiaga dan beristirahat, tiba-tiba pasukan majapahit
menyerbu.
Manakala
sudah berhadapan maka pertempuran tak bisa lagi dihindari. Pertempuran pun di
mulai kembali, desak-mendesak, pedang nampak berkilat terayun di sana-sini,
sementara medan laga sudah dibanjiri darah penuh mayat bagaikan sampah kotoran
belaka. Akhirnya para panglima perang Tuban banyak yang mati. Semakin lama
prajurit Tuban semakin tertindih, akhirnya mereka mengundurkan diri.
Orang-orang
Majapahit merasa mendapat kemenangan segera bersorak-sorai. Musuh yang berlari
di kejar dengan lemparan tombak serta dihujani anak panah. Melihat prajuritnya
lari menyingkir, Demang Ulungbuwana lan Wiyagranggora[25]
mengamuk. Mereka meloncat dari kuda dan menerkam tombak yang melayang datang,
sambil berkata membangkitkan kembali semangat anak buahnya. Semangat prajurit
bagai di bakar kembali, mereka bersorak-sorai kembali menyerang dengan
tetabuhan gemuruh bergema. Perang yang sudah kendor kembali riuh dan seru.
Di tengah
perang yang sedang terjadi, Adipati Ranggalawe ibarat tak sempat bernafas.
Pedangnya sudah berlelehan dengan darah merah karena memakan korban cukup
banyak. Dia bergerak ke arah utara, bagai ombak yang sedang pasang. Prajurit
Majapahit kebingungan mendadak. Sebagian saling berlari tunggang-langgang,
sebagian lagi meminggir tak kuat menerima serangan dari Ranggalawe.
Semakin
dekatnya Ranggalawe kepada Raja, membuat Raja semakin bersedih. Kebo Anabrang
diserahi tugas memimpin barisan dari timur.
Tak lama
kemudian alun barisan Ranggalawe datang dan terus mendesak. Ranggalawe tak
peduli anak buahnya yang mati atau tidak, Dia tetap memacu kudanya bergerak ke
tengah. Dia tahu tak urung yang akan di lawan adalah sanak saudara dan kawannya
sendiri.
Waktu
Ranggalawe mendekat, sejenak Lembu Sora termangu. Lembu Sora menunjuk dan
mengatakan supaya Ranggalawe jangan berani melawan Raja. Lebih baik Ranggalawe
menggempur barisan Majapait ke arah timur.
Ranggalawe
menurut oleh isyarat Lembu Sora. Dia membalapkan kudanya ke arah timur. Di sana
segera bertemu dengan Kebo Anabrang, kemudian mereka sudah berhadap-hadapan.
Perang
tanding antara keduanya terjadi cukup lama. Satu sama lain juga belum ada yang
kalah. Akhirnya mereka memutuskan untuk bertanding di bawah dan turun dari kuda
masing-masing. Tapi perang tanding itu sama saja.
Akan tetapi
kuda Ranggalawe, Nilaambara[26]
seperti kuda yang tahu diri. Mendadak binatang itu menyerang Kebo Anabrang.
Kebo Anabrang kewalahan, lalu berlari dan sembunyi di sungai. Tetapi Ranggalawe
segera memburunya kembali. Tak lama kemudian dia tiba di pinggir sungai.
Dilihatnya Kebo Anabrang sedang menyelam di air sambil tanganya menepis-nepis
di air. Kemudian Ranggalawe dan Kebo Anabrang bertarung di dalam Air, yang
merupakan kelemahan dari Ranggalawe[27].
Sang Adipati lengah, Kebo anabrang mengayunkan pedang, memotong leher Adipati,
tewas seketika itu juga.
Orang-orang
Majapahit yang sudah berkumpul di pinggir sungai bersorak-sorai. Mereka lalu
kembali ke medan perang ,lagi. Sementara itu, Kebo Anabrang belum puas. Dengan
keris di tangan dia masih mencaci-maki mayat Ranggalawe dengan kasarnya. Sora
yang mengetahui hal semacam ini menjadi tak senga. Rasa iba dan kasihan kepada
kemenakannya timbul.
Tiba-tiba
Sora mendapat akal. Dia seperti melihat binatang lintah menempel di dada Kebo
Anabrang. Sora lalu berkata : “ Hei, Anabrang. Cepat lihat, apa barang puting
yang ada di dadamu. Rupanya lintah besar sedang memangsa tubuhmu.” Kebo
Anabrang kaget dan gugup, dia bergerak. Tak urumg kerisnya yang telanjang itu
mengena dadanya sendiri. Kebo Anabrang mati seketika itu juga.
Dengan
tewasnya Ranggalawe, maka barisan Tuban mundur, mereka bubar lari mengungsi.
Akan kematian Ranggalawe, segera dilaporkan kepada Raja Panji Wijaya, mati
bersama-sama dalam perang tanding di sungai. Raja menjadi sedih hati. Mengingat
apa yang telah dilaui bersama dengan Ranggalawe, menyesalpun yang dirasakan
Baginda Raja.
Saat matahari
tenggelam semua lalu berkumpul. Mayat-mayat dikumpulkan dan diupacarai
sebagaimana mestinya. Sementara lagu duka berdengung di setiap hati
masing-masing.
Kejadian yang berlangsung
pada tahun 1294 masehi itu telah membuat suasana politik Majapahit menjadi
memanas karena setelah kejadian di masyarakatpun timbul keresahan karena
masyarakat melihat para pucuk pimpinan yang sangat dihormatinya
"gontok-gontokan" dalam menyelesaikan masalah. Lebih parahnya
lagi kedua pimpinan tersebut yaitu Arya Ronggolawe dan Arya Nambi
tidak bisa dipersatukan lagi dan malah dimanfaatkan oleh orang-orang yang
tidak bertanggung jawab untuk melakukan fitnah sehingga tak lama kemudian
meletuslah "perang saudara pertama" pada jaman Majapahit yang
disebut "pemberontakan Ronggolawe".
Penghormatan MasyarakatTuban Terhadap
Ranggalawe
Penghormatan
Masyarakt Tuban terhadap Jasa Ranggalawe pada saat itu. Dan siring dengan
perkembangannya zaman dan penyebaran pada waktu itu belum berkembang. Bupati
Tuban yang ke-7, Haryo Tedjo[28]
adalah seorang muslim, beliau menggantikan Raden Haryo Dikara menantunya.
Haryo Tedjo
juga merupakan kakek dari Raden Said atau sering di sebut dengan Sunan
Kalijaga. Pada saat pemerintahan beliau, memberikan keinginan ketika besok saat
meninggal, beliau ingin dimakamkan sesuai agamanya, Agama Islam. Dan pada saat
itu pula beliau memakamkan para pendahulunya atau bupati-bupati terdahulu
sebagai makam Islam[29],
sebagai penghormatan kepada mereka. Para Bupati atau adipati dalam sistem
pemerintahannya dilakukan secara turun temurun keepada anak cucunya. Ranggalawe
sendiri pada saat itu pernah menjabat sebagai Adipati Tuban, juga dimakamkan
secara Islam sebagai simbol peghormatan kepada Ranggalawe akan jasa-jasanya.
Konon di akhir
hayatnya , Ranggalawe dimakamkan di Tuban. Setidaknya ini terlihat
dari adanya kompleks Makam Kuno bernama Makam Ranggalawe yang berada di
Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Tuban. Sekitar 400 Meter dari kompleks Wisata Religi makam Sunan Bonang.
Walaupun
menyatu dengan pemakaman warga lainnya, makam Ranggalawe itu tampak
berbeda. Selain Bangunan nya diberi pagar dan cungkup yang
permanen, bangunan makamnya juga terdapat Ornamen-ornamen yang menegaskan bahwa mereka
yang dimakamkan di dalam bangunan itu adalah golongan Ningrat atau Priyayi (
Sebutan untuk kaum bangsawan dalam budaya jawa ).
Dari pintu
masuk kompleks pemakaman itu, tampak gapura berwarna hijau dan berbentuk Khas sebagai jalan menuju makam Ranggalawe. Sekitar 5 meter
di belakang gapura terdapat dua pohon Beringin ( Ficus benjamina L. ) yang cukup besar dan rindang.
Keberadaan beringin itu seolah semain menambah nuansa Mistis dan Sakral di makam Ranggalawe.
Di bawah
naungan pohon Beringin itulah terdapat bangunan cungkup makam Ranggalawe. Di
depan cungkup makam terdapat replika Patung kuda Ranggalawe. Selain itu juga terdapat semacam Prasasti
bertuliskan nama para Adipati yang dimakamkan disana.
Makam
Ranggalawe yang berada tak jauh dari Jalan Ranggalawe ini sendiri selalu tertutup rapat.
Hanya orang-orang tertentu yang diijinkan memasuki ke dalam ruangan
cungkup makam itu. Seperti makam-makam yang dikeramatkan lainya, makam
Ranggalawe ini di bagian luarnya juga berselubung kain dengan hiasan Songsong (
Payung ) kebesarannya.
Sedangkan
pada bagian depan makam ini juga terdapat ornament-ornamen hiasan lainnya dan
tulisan aksara ( huruf ) Jawa pada bagian atas pintu.
Bau harum
bunga dan minyak wangi senantiasa menguar dari dalam ruangan cungkup makam.
Seolah berpadu dengan untaian doa yang dipanjatkan oleh peziarah. Sudah
menjadi tradisi tahunan ketika memperingati Hari Jadi Tuban pada tgl 12
November , Bupati Tuban yang sedang menjabat beserta jajaran pejabat
lainnya selalu berziarah ke makam Ranggalawe
Ziarah ke
Ranggalawe itu sebagai bagian dalam mengenang, menghormati dan menghargai
sosok Ranggalawe yang legendaris.
[1]
Soeparmo. R. 1983. Catatan Sejarah 700
Tahun Tuban, hal. 78-79.
[2]
Ibid
[3]
Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, hal
525. Tuban : PT Aries Lima
[4]
Ibid
[5]
ibid
[6]
Hadi Sutjipto, S.Z. Langendriyo Pejahipun
Ronggolawe, hal 9.
[7]
Hadi Sutjipto, S.Z. Langendriyo Pejahipun
Ronggolawe, hal 15-16.
[8]
Hadi Sutjipto, S.Z. Langendriyo Pejahipun
Ronggolawe, hal.16.
[9]
Soeparmo. R. 1983. Catatan Sejarah700
Tahun Tuban, hal 41.
[10]
Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, hal 528.
Tuban : PT Aries Lima
[11]
Poesponegono, Marwati Djoened, Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II, hal 415.
[12]
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat
Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 20. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah.
[13]
Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, hal
530. Tuban : PT Aries Lima
[14]
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat
Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 34-41. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah.
[15]
Sebutan lain untuk Jayakatwang. Kitab pararaton menyebutnya dengan nama Aji
Katong. Sumber Cina menyebutnya dengan nama Aji Katong atau Haji Katang (lihat
W.P. Groeneveldt. Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from
Chinese Sources, 1960).
[16]
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat
Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 58. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah
[17]
Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe, hal
531. Tuban : PT Aries Lima
[18]
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat
Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 85. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah.
[19]
C. C. Berg, “Een nieuwe redactie van de
roman Raden Wijaya”. BKI, 88. 1931, hal 22.
[20]
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat
Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 88. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah
[21]Poesponegono,
Marwati Djoened, Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II, hal 415.
[22]
Shasangka,Damar. 2011. Sabda Palon, hal
22. Jakarta Selatan : Dolphin.
[23]
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat
Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 97. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah
[24]
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat
Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 98. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia
dan Daerah
[25]
Demang Ulungbuwana lan Wiyagranggora merupakan Pasukan tinggi teman dari
Ranggalawe
[26]
Nilaambara kuda tunggangan Ranggalawe
[27]
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat
Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 105. Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah
[29]
Wawancara pada Bapak Hadi sebagai Juru Kunci Makam Ranggalawe, wawancara Sabtu,
24 Maret 2012 pukul 10.00 WIB.
Daftar Pustaka
1.
Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina
Tengahan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan
Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
2.
1936. Serat Babad Tuban. Kediri:
Boekhandel Tan Khoen Swie
3.
Shasangka,Damar. 2011. Sabda Palon, hal 22. Jakarta Selatan :
Dolphin.
4.
Poesponegono, Marwati Djoened,
Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional
Indonesia II
5.
C. C. Berg, “Een nieuwe redactie van de roman Raden Wijaya”. BKI, 88. 1931
6.
Panitia Penyusun Sejarah Brigade
Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama
Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe. Tuban : PT Aries Lima
7.
W.P. Groeneveldt. Historical Notes
on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources, 1960.
8.
Hadi Sutjipto, S.Z. Langendriyo Pejahipun Ronggolawe
9.
Soeparmo. R. 1983. Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban
Wawancara
1. Wawancara
pada Bapak Hadi sebagai Juru Kunci Makam Ranggalawe, wawancara Sabtu, 24 Maret
2012 pukul 10.00 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar