Jumat, 21 Juni 2013

TUGAS STUDI ARSIP

PENGHORMATAN MASYARAKAT TUBAN KEPADA RANGGALAWE
“MAKAM ISLAM RANGGALAWE”
Rumusan Masalah : Pemberontakan Ranggalawe terhadap Majapahit.
Andreas Pramusinta
Abstrak
Ranggalawe adalah Bupati Tuban. Cerita dan Mitos tentang Ranggalawe banyak kontroversial dan versinya. Peranan Ranggalawe pun begitu besar pada awal Majapahit, dari pembabatan Hutan Tarik, dan pengusiran tentara Tar-tar dari bumi jawa. Oleh karena itu Ranggalawe di tempatkan di Tuban. Ranggalwe memprotes terhadap Raja, akan pengangkatan Nambi sebagai patih tertinggi. Bagi Ranggalawe Nambi tidaklah tepat jika menduduki posisi tertinggi sebagai patih, karena Jasanya tidaklah begitu besar bagi kerajaan, akan tetapi protes tersebuttidak dihiraukan oleh Raja.
Pemberontakan Ranggalawe
Awal mula pemberontakan Ranggalawe, dikarenakan ketidakpuasan Ranggalawe atas pemberian jabatan terhadap Nambi. Ranggalawe menganggap gelar jabatan tersebut tidak layak diberikan kepada Nambi, karena Peranan Nambi pada awal mendirikan Majapahit tidaklah banyak berperan[1].
Sebelum membahas tentang Pemberontakan dan Terbunuhnya Rangalawe, marilah sejenak saya akan membahas masalah awal-awal sebelum pendirian Majapahit dan peranan Ranggalawe pada awal pembabatan Hutan Tarik dan Pengusiran Pasukan Tar-tar dari daha[2].
Dewasa ini, masyarakat Tuban sampai saat ini Tak pernah luput dari kisah Legenda Ranggalawe. Legenda tersebut begitu kental dan mensejarah, sehingga sedikit mewarnai pembentukan suatu nilai dan sosial bagi masyarakat Tuban. Terdapat banyak versi mengenai kisah Legenda Ranggalawe tersebut, antara lain:
1.      Langendriyo Pejahipun Ranggalawe, yang dikisahkan sebagai Lakon pewayangan. Sebagaimana Ranggalawe gugur melawan raja Blambangan, yaitu Menak Jinggo. Diceritakan, bahwa sewaktu Prabu Brawijaya II mangkat, maka beliau hanya mempunyai seorang keturunan ialah Dewi Kencono Wungu. Sang dewi menggantikan tahta kerajaan bergelar “Sri Raja Majapahit”[3]. Pada waktu Sri Baginda memerintah, di daerah Blambangan sebuah negara bagian dari Majapahit timbul suatu pemberontakan yang dikemudikan oleh seorang bernama Menakjinggo. Guna menggalang kekuatan untuk menghadapi Majapahit, Menakjinggo memperluas daerahnya dengan menaklukkan kadipaten-kadipaten kecil disekitarnya; ia kemudian menamakan diri “Prabu Huru Bismo”[4] dan menyatakan lepas dari kekuasaan Majapahit. Yakin akan kejayaan dirinya, karena mempunyai senjata bertuah berupa “Gada Besi Kuning”[5], ia bersimaharajalela sesuka hatinya di atas sekelumit daerah kekuasaan Majaphit. Ia tidak sudi lagi bersujud kehadapan Sri Ratu. Ditegaskan pula melamar Ratu Ayu, serta mengancam akan meyerbu Majapahit jika lamarannya ditolak[6].
Sri Ratu merasa amat tersinggung kekuasaan, kehormatan, serta perasaannya. Segera dikirimkannya seorang utusan bernama Raden Layang Seto putra patih Logender guna menghadap Adipati Ronggolawe di Tuban disertai sebuah titah : Menindas pemberontakan serta mengembalikkan kekuasaan Majaphit di seluruh Blambangan.
Adipati Ronggolawe, paman Sri Ratu seterimanya perintah segera mengumpulkan pasukan-pasukannya yang terpilih dan keesokkan harinya bertolak menuju Blambangan dengan diikuti oleh bala tentaranya, demikian pula di Blambangan, Menakjinggo juga mempersiapkan pasukannya. Mabuk oleh kemenangan, maka kesatuan-kesatuan  Blambangan beramai-ramai kembali keibukotanya. Pertempuran yang sengitpun terjadi, antara Adipati Tuban, Ronggolawe berhadapan langsung dengan Menakjinggo. Pertempuran anatara keduanya sangatlah sengit, serangan dari Urubesma atau Menakjinggo yang ditujukan kepada Ronggolawe bertubi-tubi, akan tetapi serangannya tidaklah mempan di tubuh Ronggolawe, melainkan Menakjinggo yang sering terpental oleh serangan balasan dari Ronggolawe.  Kemarahan Menakjinggo semakin menjadi-jadi, akan tetapi hilang pula keeberaniannya untuk berhadapan langsung dengan Ronggolawe. Lalu Urubesma memberiperintah supaya Adipati Tuban itu dihujani meriam, panah, pelempar, seligi dari jauh saja. Senjata-senjata itu berseluncur bagaikan hujan[7].
Dalam pada itu Adipati Ronggolawe yang diiringkan oleh seorang abdi pembawa payung agung bernama Wangsapati tetap berdiri teguh di medan perang. Senjata yang ,meluncur deras dan bertubi-tubi tidak ada yang melukainya. Akan tetapi pada suatu saat perut Wangsapati terkena peluru meriam sehingga Ia jatuh pingsan. Wangsapati segera di tolong oleh Sang Adipati dan dapat Pulih kembali kekuatannya. Namun pada saat yang lain sumping di telinga Sang Aadipati terkena peluru dan terjatuh. Hal itu membuat hati Adipati Ronggolawe tergetar. Terlebih ketika gagang payungnya juga patah terkena tembakan. Adipati Ronggolawe sadar bahwa ajalnya telah dekat, Ia menyuruh Wangsapati agar pulang ke Tuban dan menyampaikan berita, bahwa Adipati dan pasukannya telah Tewas dalam peperangan[8]. (Kisah Damarwulan).
2.      Versi lain yang menyebutkan tentang Ranggalawe, terdapat pada Buku pararaton pada tahun 1613. Mengawali sejarah Tuban yang tidak dapat dipisahkan dari nama Ranggalawe, patut di catat adanya pemukiman permukiman di bukit Kalakwilis di dekat Jenu Tuban yang kemudian diberinya nama : Lumajang Tengah oleh pendirinya, yaitu Batara Norowiko yang juga di kenal sebagai Haryo Randukuning atau Kyai Ageng Lebehlontang. Pada masa kekuasaan putranya Haryo Bangah.
Daerah tersebut rusak karena banyak yang mati, maka pemukiman dipindahkan lebih ke selatan, yaitu ke Gumeng (Gumenggeng), di mana Haryo Dandang Miring masih bertahan. Namun setelah wafat, maka putranya bernama Haryo Dandang Wacono memindahkan pemukiman ke arah utara lagi, yaitu di dekat Semanding; hasil pembukaan Hutan Bambu yang berdekatan dengan sumber-sumber air tersebut di beri nama Tuban, Artinya: ‘metu banyu’ = keluar air[9].
Di situ pulalah dibangun tempat kebaktian, sekarang di kenal dengan : mbekti. Karena itu pendiri pemukiman ini kemudian terkenal dengan Kyai Ageng Papringan yang setelah wafat kemudian dimakamkan di Prunggahan Wetan . beliau mempunyai dua orang istri, yaitu Nyai Ageng Lanangjoyo dan Nyai Ageng Ngeso[10].
a.       Nyai Ageng Lanang joyo kawin dengan Haryo Suseno dan melahirkan Haryo panular; ia berputra Haryo Ronggolawe.
b.      Nyai Ageng Ngeso berputra Haryo Kebo Anabrang.
3.      Dalam sejarah dalam sejarah atau Babad Hindu Jawa Kuno, nama Ranggalawe pertama kali di sebut pada zaman runtuhnya kerajaan Singosari sekitar tahun 1280-an Masehi. Pada saat itu Singosari diperintah Kertanegara, keturunan dari Ken Arok, pendiri kerajaan Singosari. Termashur cerdas, cakap, bijaksana, dan telah membawa Singosari ke zaman keemasannya. Di samping itu ia pula seorang yang sangat berambisi dalam segala sesuatu. Terbukti setelah ia memegang kekuasaan tunggal atas seluruh wilayah Jawa Timur dan sekitarnya, mendadak memutuskan hubungan dengan Tiongkok yang dianggapnya terlampau banyak mengurusi kedaulatannya. Sadar akan akibatnya ia kemudian menyiapkan seluruh negeri untuk menghadapi kemungkinan serangan dari Tiongkok.
Mungkin Kertanegara adalah Raja pertama yang mempunyai konsep strategi pertahanan Nusantara atas dasar wawasan Nusantara[11]. Selruh armada tempurnya dimuati satuan-satuan lasykar yang terbaik dan terpilih, kemudian ia gerakan menutup jalan-jalan laut yang merupakan pintu gerbang samudra Nusantara dari arah utara, yakni Selat Karimata dan Selat Sulawesi. Akibatnya kekuatan besar itu hanya tertinggal kesatuan cadangan yang jumlahnya kecil yang bertugas di ibukota kerajaan.
Keadaan  itu dimanfaatkan oleh raja Jayakatwang (Batara Katong) musuh Kertanegara dari Kediri. Dengan diam-diam ia menyerang Singosari.
Mabok akan kejayaan, maka Kertanegara lengah dan akhirnya Singosari jatuh, ia sendiri terbunuh di bawah puing-puing istananya[12].
Di saat itulah nama Ranggalawe muncul dalam Babad. Ranggalawe, Sora dan Nambi adalah prajurit-prajurit istana, usia masih muda belia, merupakan tiga serangkai yang dengan gagah menghadapi lasykar Kediri[13]. Mereka terdesak, kemudian undur dan dapat menyelamatkan Raden Wijaya, anak menantu Kertangara. Bersama Istrinya Gayatri putri dari Kertanegara, dibawanyalah mereka mengungsi menuju utara.
Dikisahkan, bahwa dalam pelarian dengan rombongan kecil itu mereka ‘ngayam-alas’ artinya karena disebabkan takut terkejar, mereka menempuh jalan hutan yang bukan semestinya dilalui manusia. Rombongan kehilangan segala-galanya tidak membawa bekal makan dan minum, serta alat-peralatan sehari-hari yang diperlukan.
Tanpa tujuan yang pasti, Raden Wijaya menyebrang ke laut dan mendarat di Pulau Madurauntuk meminta bantuan perlindungan keamanankepada Bupati Madura yaitu Arya Wiraraja, yang tidak lain paman dari Raden Wijaya. Di Madura Raden Wijaya dan Arya Wiraraja berunding dan menyusun rencana untuk melawan Jayakatwang dan mengusirnya dari Jawa[14]. Rombongan di sana diterima dengan baik, bahkan sang Bupati menjanjikan jasa baik, yakni Raden Wijaya dimintakan pengampunan raja atas jaminannya.
Intinya adalah “Kepada orang tua jangan dilupakan bila kelak kembali memegang tampuk pemerintahan di Kerajaan”. Raden Wijaya dihadapkan raja Jayakatong[15] Kediri dengan jaminan Arya Wiraraja. Ia dan rombongan pengikutnya segera di beri pengampunan dengan syarat harus menunjukkan bukti setianya.
Setelah melewati beberapa waktu yang dipandang cukup lama menjadi kawula dekat, mengabdi tanpa cacat kepada raja, maka Raden Wijaya bersama tiga serangkai mulai menjalankan siasat sebagai bagian dari tujuan besar, yakni merebut kembali kekuasaan dan melestarikan dinasti leluhurnya, Ken Arok dan sekaligus membalas kematian ayah mertuanya[16].
Pertama-tama Raden Wijaya memohon sih anugrah Raja agar diberi sebidang tanah mardikan. Di mana ia atas nama Raja dapat melaksanakan perintah Swarapaja.
Permohonan itu dikabulkan, karena sikap yang dilakukan Raden Wijaya erhadap Raja Jayakatwang sangatlah baik, sehingga Raja senang terhadap Raden Wijaya, dan ia memilih “Bumi Terik”. Setelah pindah di Terik  dengan cepat dan rahasia kekuatan disusun: di samping itu kepada Ronggolawe diberikan tugas untuk menyiagakan kekuatan secara diam-diam di Tuban.
Segar dalam ingatan, belajar strategi dari mendiang ayah mertuanya, maka Raden wijaya yakin Tiongkok pasti akan mengirim armada perangnya untuk menyerang dan menghukum mendiang mertuanya. Tuban adalah bandar besar di pantai utara, demikian juga Terik[17]. Pada waktu itu jungjung besarmampu menyusuri kali Brantas dan berlabuh di Terik. Dua tempat tersebut adalah yang pertama-tama harus dikuasai. Raden Wijaya harus menjadi orang pertama yang akan menyambut para laksamana dan panglima Tiongkok yang akan datang mendarat.
Ternyata apa yang telah direncanakan Raden Wijaya tepat, selang beberapa tahun kemudian tentara dari Tiongkok datang, dan kemudian di Jamu di Tuban. Ranggalawe menjadi dengan mengajak semua tentara untuk minum Toak dan melakukan pesta. Setelah tahu bahwa pasukan Tiongkok sudah mabuk berat akan toak, maka Ranggalawe dan pasukannya secara tiba-tiba menyerang pasukan Tiongkok. Pasukan Tiongkok yang mabuk berat tidak menyadari akan hal tersebut dan tidak siap dalam berperang, maka banyak yang mati dan kabur tentara Tiongkok tersebut dari Tuban.
Konon, menurut hikayat para panglima armada dan laskar yang berhasil kembali dijatuhi hukuman mati oleh kaisar, sebab dianggap gagal melakukan misi ekspedisi[18].
Kini terbukalah peluang lebar bagi Raden Wijaya untuk mendirikan negara serta meneruskan kekuasaan dinastinya, yakni kerajaan yang didirikan Ken Arok. Dipilihlah tempat ibukota, yakni Trowulan, sedangkan negaranya bernama Majapahit dan dinobatkanlah Raden Wijaya menjadi raja Majapahit. Menurut Kidung Harsa Wijaya, penobatannya itu pada tanggal 15 bukan Kartika (ri purneng kartikamāsa pan͞casadasi) tahun 1215 Saka (12 November 1293)[19]. Gelar kebesarannya di dalam Serat ranggalawe adalah Panji wijaya[20], dan di sumber lainnya nama gelar penobatannya adalah Srī Kěrtarājasa Jayawarddhana[21].
Betapa besar jasa tiga orang prajurit sebagai pelopor dan pendirian Majapahit. Atas  jasa-jasanya itu mereka diangkat oleh raja menduduki jabatan-jabatan penting.  Nambi menjabat kedudukan panglima angkatan perang paling tinggi Majapahit. Selain itu di luar struktur mereka adalah nayaka-nayakapraja yang di anggap dan paling dipercayai ; dalam memperbincangkan masalah-masalah negeri yang gawat mereka diikutkan dalam pembicaraan.
Berpegang pada tiga versi di atas dan mengingat akan jiwa daripadanya, maka terlihatlah jelas bagaimana peranan Ranggalawwe pada awal pendirian Majapahit. Hak yang dituntut oleh Ranggalawe tidaklah salah, karena peran-peran pada awal itu begitu besarnya.  
Kembali dalam maksud permasalahan tentang pemberontaka Ranggalawe akan saya jelaskan di sini.
Ranggalawe adalah sahabat seperjuangan Nararrya Sanggrama Wijaya. Dia berdarah Madura dan sangat besarjasanya dalam proses pendirian Majapahit.
Awal mula pemberontakan Ranggalawe karena ketidakpuasan Ronggolawe atas keputusan Raden Wijaya yang mengangkat Dyah Nambi sebagai Rakryan mahapatih Sanagara atau Patih Amangkubumi, yang pada masa perjuangan tidak begitu terlihat andilnya. Dan menurut Ranggalawe, yang lebih pantas mendapati jabatan tersebut ialah Lembu Sora atau dirinya yang menganggap lebih banyak jasanya terhadap Majapahit saat awal berdirinya Majapahit[22]. Ranggalawe sendiri malahan ditempatkan di daerah luar istana, Dia menjabat adipati Tuban. Ranggalawe yang bersifat pemberani dan emosional suatu hari menghadap Raden Wijaya di ibu kota dan langsung menuntut agar kedudukan Nambi digantikan Sora. Namun Sora sama sekali tidak menyetujui hal itu dan tetap mendukung Nambi sebagai patih. Raden Wijaya sebagai seorang raja besar hanya berdiri terdiam seribu bahasa menyaksikan sahabat-sahabatnya saling protes memperebutkan persoalan pembagian jabatan dan kue ekonomi yang tidak merata. Arya Rongggolawe yang diangkat sebagai Adipati mancanegara di Tuban menjadi emosi dan melakukan keributan dengan menghancurkan taman dan hiasan kraton. Kemudian Sora keluar menasihati Ranggalawe, yang merupakan keponakannya sendiri, untuk meminta maaf kepada raja. Namun Ranggalawe memilih pulang ke Tuban. Mahapati yang licik ganti menghasut Nambi dengan melaporkan bahwa Ranggalawe sedang menyusun pemberontakan di Tuban. Maka atas izin raja, Nambi berangkat memimpin pasukan Majapahit didampingi Lembu Sora dan Kebo Anabrang untuk menghukum Ranggalawe. Mendengar datangnya serangan, Ranggalawe segera menyiapkan pasukannya. Ia menghadang pasukan Majapahit di dekat Sungai Tambak Beras[23]. Perang pun terjadi di sana.  Seru dan riuh pertempuran itu terjadi. Barisan Majapahit di pimpin oleh Nambi. Dalam sekejab Nambi banyak kehilangan orang-orangnya.
Kedua belah pihak akhirnya banyak kehilangan prajuritnya. Bagi yang menyerah segera diampuni. Perang kemudian berhenti setelah matahari tenggelam. Barisan Majapahit terus menyeberang ke arah barat. Mereka bersorak sorai dengan diiringi tetabuhan. Mereka menganggap kemenangan ada di Pihaknya, karena dalam pertempuran tadi telah terbunuhnya Sidi[24], panglima dari Tuban. Angan mereka berkata, dalam sekejap tentu segera bisa meremukkan kota Tuban. Mereka lalu mendirikan markas darurat dan beristirahat, untuk menyongsong perang yang akan terjadi esok harinya. Adapun kematian Sidi segera dilaporkan kepada Adipati Ranggalawe.
Di depan anak buahnya, Ranggalawe memberi penjelasan tentang siasat untuk mengepung Nambi yang congkak dan sombong itu. Setelah memberikan penjelesan tersebut, Ranggalawe berangkat meninggalkan Tuban.
Di tengah jalan mereka segera berjumpa dengan barisan Nambi. Perang terjadi serempak. Riuh dan ramai, saling menubruk, saling mendesak dan bercampur aduk. Dalam sekejap korban berjatuhan bersusun-susun. Mantri, Rangga, dan Pejabat tinggi yang lain banyak yang tewas berjatuhan. Akhirnya barisan Majapahit dalam keadaan terdesak, Prajuritnya bercerai-berai.
Patih Nambi yang kehilangan anak buah serta prajuritnya. Segera berlari mundur dengan sisa-sisa barisan yang ada. Tapi terus di kejar oleh barisan Tuban. Dan Siapa saja yang tertangkap segera di bunuh tak ampun lagi. Patih Nambi segera terbirit-birit dengan hati ketakutan penuh khawatir.
Di istananya Raden Wijaya sedang mengadakan sidang paripurna. Yang menjadi pembicaraan adalah masalah perang yang sedang terjadi antara Majapahit dan Tuban. Karena khawatir kalau Ranggalawe datang sewaktu-waktu, maka sebagian besar dari hadirin selengkapnya mengenakan senjata. Ketika dalam persidangan tiba-tiba datang prajurit Majapahit dan memohon ampun kepada Raja. Prajurit tersebut melaporkan bahwasanya barisan Majaphit terdesak dan lari mundur termasuk Patih Nambi. Mendengar laporan tersebut raja menjadi marah, karena patih Nambi ikut kabur. Akhirnya Raja mengumpulkan barisan kembali untuk menyerbu pasukan dari Tuban dan ingin menumpas Negeri Tuban.
Seperti prahara, gemuruh suara tetabuhan yang mengiringi barisan Majapahit berangkat menuju medan perang. Yang menjadi panglima adalah orang-orang perwira yang tidak diragukan lagi keberaniaannya.
Saat itu barisan Tuban sedang bersiaga dan beristirahat, tiba-tiba pasukan majapahit menyerbu.
Manakala sudah berhadapan maka pertempuran tak bisa lagi dihindari. Pertempuran pun di mulai kembali, desak-mendesak, pedang nampak berkilat terayun di sana-sini, sementara medan laga sudah dibanjiri darah penuh mayat bagaikan sampah kotoran belaka. Akhirnya para panglima perang Tuban banyak yang mati. Semakin lama prajurit Tuban semakin tertindih, akhirnya mereka mengundurkan diri.
Orang-orang Majapahit merasa mendapat kemenangan segera bersorak-sorai. Musuh yang berlari di kejar dengan lemparan tombak serta dihujani anak panah. Melihat prajuritnya lari menyingkir, Demang Ulungbuwana lan Wiyagranggora[25] mengamuk. Mereka meloncat dari kuda dan menerkam tombak yang melayang datang, sambil berkata membangkitkan kembali semangat anak buahnya. Semangat prajurit bagai di bakar kembali, mereka bersorak-sorai kembali menyerang dengan tetabuhan gemuruh bergema. Perang yang sudah kendor kembali riuh dan seru.
Di tengah perang yang sedang terjadi, Adipati Ranggalawe ibarat tak sempat bernafas. Pedangnya sudah berlelehan dengan darah merah karena memakan korban cukup banyak. Dia bergerak ke arah utara, bagai ombak yang sedang pasang. Prajurit Majapahit kebingungan mendadak. Sebagian saling berlari tunggang-langgang, sebagian lagi meminggir tak kuat menerima serangan dari Ranggalawe.
Semakin dekatnya Ranggalawe kepada Raja, membuat Raja semakin bersedih. Kebo Anabrang diserahi tugas memimpin barisan dari timur.
Tak lama kemudian alun barisan Ranggalawe datang dan terus mendesak. Ranggalawe tak peduli anak buahnya yang mati atau tidak, Dia tetap memacu kudanya bergerak ke tengah. Dia tahu tak urung yang akan di lawan adalah sanak saudara dan kawannya sendiri.
Waktu Ranggalawe mendekat, sejenak Lembu Sora termangu. Lembu Sora menunjuk dan mengatakan supaya Ranggalawe jangan berani melawan Raja. Lebih baik Ranggalawe menggempur barisan Majapait ke arah timur.
Ranggalawe menurut oleh isyarat Lembu Sora. Dia membalapkan kudanya ke arah timur. Di sana segera bertemu dengan Kebo Anabrang, kemudian mereka sudah berhadap-hadapan.
Perang tanding antara keduanya terjadi cukup lama. Satu sama lain juga belum ada yang kalah. Akhirnya mereka memutuskan untuk bertanding di bawah dan turun dari kuda masing-masing. Tapi perang tanding itu sama saja.
Akan tetapi kuda Ranggalawe, Nilaambara[26] seperti kuda yang tahu diri. Mendadak binatang itu menyerang Kebo Anabrang. Kebo Anabrang kewalahan, lalu berlari dan sembunyi di sungai. Tetapi Ranggalawe segera memburunya kembali. Tak lama kemudian dia tiba di pinggir sungai. Dilihatnya Kebo Anabrang sedang menyelam di air sambil tanganya menepis-nepis di air. Kemudian Ranggalawe dan Kebo Anabrang bertarung di dalam Air, yang merupakan kelemahan dari Ranggalawe[27]. Sang Adipati lengah, Kebo anabrang mengayunkan pedang, memotong leher Adipati, tewas seketika itu juga.
Orang-orang Majapahit yang sudah berkumpul di pinggir sungai bersorak-sorai. Mereka lalu kembali ke medan perang ,lagi. Sementara itu, Kebo Anabrang belum puas. Dengan keris di tangan dia masih mencaci-maki mayat Ranggalawe dengan kasarnya. Sora yang mengetahui hal semacam ini menjadi tak senga. Rasa iba dan kasihan kepada kemenakannya timbul.
Tiba-tiba Sora mendapat akal. Dia seperti melihat binatang lintah menempel di dada Kebo Anabrang. Sora lalu berkata : “ Hei, Anabrang. Cepat lihat, apa barang puting yang ada di dadamu. Rupanya lintah besar sedang memangsa tubuhmu.” Kebo Anabrang kaget dan gugup, dia bergerak. Tak urumg kerisnya yang telanjang itu mengena dadanya sendiri. Kebo Anabrang mati seketika itu juga.
Dengan tewasnya Ranggalawe, maka barisan Tuban mundur, mereka bubar lari mengungsi. Akan kematian Ranggalawe, segera dilaporkan kepada Raja Panji Wijaya, mati bersama-sama dalam perang tanding di sungai. Raja menjadi sedih hati. Mengingat apa yang telah dilaui bersama dengan Ranggalawe, menyesalpun yang dirasakan Baginda Raja.
Saat matahari tenggelam semua lalu berkumpul. Mayat-mayat dikumpulkan dan diupacarai sebagaimana mestinya. Sementara lagu duka berdengung di setiap hati masing-masing.
Kejadian yang berlangsung pada tahun 1294 masehi itu telah membuat suasana politik Majapahit menjadi memanas karena setelah kejadian di masyarakatpun timbul keresahan karena masyarakat melihat para pucuk pimpinan yang sangat dihormatinya "gontok-gontokan" dalam menyelesaikan masalah. Lebih parahnya lagi kedua pimpinan tersebut yaitu Arya Ronggolawe dan Arya Nambi tidak bisa dipersatukan lagi dan malah dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan fitnah sehingga tak lama kemudian meletuslah "perang saudara pertama" pada jaman Majapahit yang disebut "pemberontakan Ronggolawe".  
Penghormatan MasyarakatTuban Terhadap Ranggalawe
Penghormatan Masyarakt Tuban terhadap Jasa Ranggalawe pada saat itu. Dan siring dengan perkembangannya zaman dan penyebaran pada waktu itu belum berkembang. Bupati Tuban yang ke-7, Haryo Tedjo[28] adalah seorang muslim, beliau menggantikan Raden Haryo Dikara menantunya.
Haryo Tedjo juga merupakan kakek dari Raden Said atau sering di sebut dengan Sunan Kalijaga. Pada saat pemerintahan beliau, memberikan keinginan ketika besok saat meninggal, beliau ingin dimakamkan sesuai agamanya, Agama Islam. Dan pada saat itu pula beliau memakamkan para pendahulunya atau bupati-bupati terdahulu sebagai makam Islam[29], sebagai penghormatan kepada mereka. Para Bupati atau adipati dalam sistem pemerintahannya dilakukan secara turun temurun keepada anak cucunya. Ranggalawe sendiri pada saat itu pernah menjabat sebagai Adipati Tuban, juga dimakamkan secara Islam sebagai simbol peghormatan kepada Ranggalawe akan jasa-jasanya.
Konon di akhir hayatnya ,  Ranggalawe  dimakamkan di Tuban. Setidaknya ini terlihat dari adanya  kompleks Makam  Kuno bernama Makam Ranggalawe  yang berada di Kelurahan Sidomulyo, Kecamatan Tuban. Sekitar 400 Meter dari kompleks Wisata Religi makam Sunan Bonang.
Walaupun menyatu dengan  pemakaman warga lainnya, makam Ranggalawe itu tampak berbeda. Selain Bangunan nya diberi  pagar dan cungkup  yang permanen, bangunan makamnya juga terdapat Ornamen-ornamen  yang menegaskan bahwa mereka  yang dimakamkan di dalam bangunan itu adalah golongan Ningrat atau Priyayi ( Sebutan untuk kaum bangsawan dalam budaya jawa ).
Dari pintu masuk kompleks pemakaman itu, tampak gapura berwarna hijau dan berbentuk Khas sebagai jalan menuju makam Ranggalawe. Sekitar 5 meter di belakang gapura  terdapat  dua pohon Beringin ( Ficus benjamina L. ) yang cukup besar dan rindang. Keberadaan beringin itu seolah semain menambah  nuansa  Mistis dan Sakral di makam Ranggalawe.
Di bawah naungan pohon Beringin itulah terdapat bangunan cungkup makam Ranggalawe. Di depan cungkup makam terdapat  replika Patung kuda Ranggalawe. Selain itu juga terdapat semacam Prasasti bertuliskan nama para Adipati yang dimakamkan disana.
Makam Ranggalawe yang berada tak jauh dari Jalan Ranggalawe  ini sendiri selalu tertutup rapat. Hanya orang-orang tertentu  yang diijinkan memasuki ke dalam ruangan cungkup makam itu. Seperti makam-makam yang dikeramatkan lainya, makam Ranggalawe ini di bagian luarnya juga berselubung kain dengan hiasan Songsong ( Payung ) kebesarannya.
Sedangkan pada bagian depan makam ini juga terdapat ornament-ornamen hiasan lainnya dan tulisan aksara ( huruf ) Jawa  pada bagian atas pintu.
Bau harum bunga dan minyak wangi senantiasa menguar dari dalam ruangan cungkup makam. Seolah berpadu dengan untaian doa yang dipanjatkan oleh peziarah. Sudah menjadi tradisi tahunan ketika memperingati Hari Jadi Tuban pada tgl 12 November , Bupati Tuban  yang sedang menjabat beserta jajaran pejabat lainnya selalu  berziarah ke makam Ranggalawe
Ziarah ke Ranggalawe itu sebagai bagian dalam mengenang, menghormati  dan menghargai sosok Ranggalawe yang legendaris.



[1] Soeparmo. R. 1983. Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban, hal. 78-79. 
[2] Ibid
[3] Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan        Bersama Brigade Ronggolawe, hal 525. Tuban : PT Aries Lima
[4] Ibid
[5] ibid
[6] Hadi Sutjipto, S.Z. Langendriyo Pejahipun Ronggolawe, hal 9.
[7] Hadi Sutjipto, S.Z. Langendriyo Pejahipun Ronggolawe, hal 15-16.
[8] Hadi Sutjipto, S.Z. Langendriyo Pejahipun Ronggolawe, hal.16.
[9] Soeparmo. R. 1983. Catatan Sejarah700 Tahun Tuban, hal 41.
[10] Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan        Bersama Brigade Ronggolawe, hal 528. Tuban : PT Aries Lima
[11] Poesponegono, Marwati Djoened, Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II, hal 415.
[12] Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 20. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
[13] Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan        Bersama Brigade Ronggolawe, hal 530. Tuban : PT Aries Lima
[14] Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 34-41. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
[15] Sebutan lain untuk Jayakatwang. Kitab pararaton menyebutnya dengan nama Aji Katong. Sumber Cina menyebutnya dengan nama Aji Katong atau Haji Katang (lihat W.P. Groeneveldt. Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources, 1960).
[16] Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 58. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
[17] Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan        Bersama Brigade Ronggolawe, hal 531. Tuban : PT Aries Lima
[18] Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 85. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah.
[19] C. C. Berg, “Een nieuwe redactie van de roman Raden Wijaya”. BKI, 88. 1931, hal 22.
[20] Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 88. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
[21]Poesponegono, Marwati Djoened, Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II, hal 415.
[22] Shasangka,Damar. 2011. Sabda Palon, hal 22. Jakarta Selatan : Dolphin.
[23] Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 97. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
[24] Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 98. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
[25] Demang Ulungbuwana lan Wiyagranggora merupakan Pasukan tinggi teman dari Ranggalawe
[26] Nilaambara kuda tunggangan Ranggalawe
[27] Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan, hal 105. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
[28] 1936. Serat Babad Tuban. Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie

[29] Wawancara pada Bapak Hadi sebagai Juru Kunci Makam Ranggalawe, wawancara Sabtu, 24 Maret 2012 pukul 10.00 WIB.


Daftar Pustaka
1.      Wirawangsa, R. Rangga. 1979. Serat Ranggalawe Babon Serat Basa Jawi Kina Tengahan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
2.      1936. Serat Babad Tuban. Kediri: Boekhandel Tan Khoen Swie
3.      Shasangka,Damar. 2011. Sabda Palon, hal 22. Jakarta Selatan : Dolphin.
4.      Poesponegono, Marwati Djoened, Notosusanto, Nugroho. Sejarah Nasional Indonesia II
5.      C. C. Berg, “Een nieuwe redactie van de roman Raden Wijaya”. BKI, 88. 1931
6.      Panitia Penyusun Sejarah Brigade Ronggolawe. 1985. Pengabdian Selama Perang Kemerdekaan Bersama Brigade Ronggolawe. Tuban : PT Aries Lima
7.      W.P. Groeneveldt. Historical Notes on Indonesia and Malaya, Compiled from Chinese Sources, 1960.
8.      Hadi Sutjipto, S.Z. Langendriyo Pejahipun Ronggolawe
9.      Soeparmo. R. 1983. Catatan Sejarah 700 Tahun Tuban

Wawancara
1.      Wawancara pada Bapak Hadi sebagai Juru Kunci Makam Ranggalawe, wawancara Sabtu, 24 Maret 2012 pukul 10.00 WIB.

Tidak ada komentar: